Mohon tunggu...
Marlianto
Marlianto Mohon Tunggu... Buruh - Apa...

Mencari titik akhir

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Warisan Leluhur (Hal 11)

3 Desember 2019   20:35 Diperbarui: 3 Desember 2019   20:42 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

 Saat menaiki tangga, kakinya bergerak biasa saja, namun sungguh mengejutkan, karena di setiap langkahnya telah menimbulkan suara hentakan keras sehingga mengguncang tangga dan lantai dua. Para pengunjung pun tersentak kaget, mengira terjadi gempa. Meja dan kursi di lantai dua bergetar, bergoyang lalu bergeser dari tempatnya seirama dengan gerak langkah pria ini.  Kecuali meja dan kursi yang diduduki Dewi Kembang dan Runa, namun tampang mereka benar-benar menunjuk rasa kesal dan mendongkol, menanti siapakah yang berani berlagak menyebalkan ini.

Saat pria itu menginjak lantai dua, langkahnya terhenti, tertegun sejenak lalu tersenyum lebar, matanya berbinar-binar melihat ada dua wanita sudah duduk disana. Sambil mengembangkan kedua tangan, dia berseru,

"Maafkan aku, ternyata ada dua dara cantik disini, Dewi Kembang dan Runa Kamalini...!" tanpa dipersilahkan dia langsung bergabung ke meja Dewi Kembang dan Runa Kamalini. Duduk di hadapan mereka. Tatapannya bertumbuk dengan sorot mata coklat Dewi Kembang, seketika tatapan wanita ini menyihirnya, memikatnya, tembus ke hatinya. Tidak ingin dianggap tidak sopan seolah mengabaikan wanita satunya, dia melirik sekilas ke arah Runi Kamalini, sambil mengangguk. Lalu dibibirnya tersungging senyuman mesra, mengedipkan mata ke arah Dewi Kembang, melempar isyarat.

"Aku kira yang naik ke sini orangnya tinggi, besar, gemuk, buncit dan berewokan.Ternyata pria gagah, ganteng, berwibawa dan kalem." ucap Dewi Kembang, merasa sedang menjadi mangsa, balas mengerlingkan mata dan tersenyum manis sambil menggigit bibir bagian bawah, memendam hasrat.

Runa Kamalini ikut menimpali,"Siapa tak terbuai, baunya wangi, ilmunya tinggi. Siapakah gerangan tuan, silahkan mengenalkan diri?"

Pertanyaan itu membuat raut wajah pria berusia diatas 40-an itu nampak kecewa. Bila ini sanjungan, jelas ini sanjungan palsu. Dirinya selama ini sudah dikenal oleh setiap wanita, tiba-tiba mendapat sambutan hambar dari dua wanita yang mengaku tidak mengenalnya.  Ini sungguh menjengkelkan. Tapi perasaan kecewa itu buru-buru ditutupnya dengan tertawa renyah, memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi, "Dunia sudah lama mengenalku sebagai  Sarjana Kipas Melati, Daksa Ardhana"

Gayanya berubah keren ketika mengenalkan diri, dadanya dibusungkan, suaranya dibikin garang. Tangannya tiba-tiba sudah menggenggam sebuah kipas, panjangnya 30cm. Lalu membukanya membentuk setengah lingkaran, jari-jari kipas itu terbuat dari baja putih mengilap sebanyak 20 buah, separuhnya ditutup kain warna hijau pupus dan terdapat  gambar bunga-bunga melati putih, serupa dengan sulaman di songkoknya. Ketika Daksa Ardhana mengibas-ngibaskan kipasnya, seketika bau harum bunga melati menyebar di lantai dua.

Hanya saja tanggapan dua wanita ini biasa-biasa saja. Bukannya terkagum-kagum. Lagi-lagi dia kecele.

"Ahh.." desah Dewi Kembang, diikuti gerakan menjilati bibir. Bibir merah merekah itu pun semakin basah. "Sayang sekali kami belum mengenal nama dan julukan tuan. Tapi tak sia-sia orang tuamu memberi nama Daksa Ardhana. Namanya sebagus orangnya..."

Daksa Ardhana terlihat mukanya masam, tersenyum kecut.

"Dewi Kembang, apalah arti sebagus-bagusnya nama, bila kau belum mengenalku. Tak kenal maka tak sayang. Namamu sudah lama terukir di hatiku, tiga tahun sudah kumenanti, hanya kabar berita tentang dirimu yang menghilang."

"Tuan, aku tidak menghilang, sekadar menjauh. Bila tahu diriku dinanti-nanti pria tampan bergelar sarjana, tentu perasaan sayang itu tak perlu kau pendam selama tiga tahun ..."

"Tapi rasa sayangku tiada pudar, Dewi Kembang. Selama itu peruntunganku mungkin jelek, hingga belum bisa bertemu denganmu. Tapi tekadku telah bulat, penantianku yang tiada akhir, tidak sia-sia, nasibku mujur, hari ini memetik buahnya. Seperti udara pagi berhembus mengetuk pintu hati, embunnya menetes meresap mengalir, membuka perasaan, menautkan dua insan, meminta bumi dan langit agar menjodohkan.

Dewi Kembang tercenung, kata-kata pria dihadapannya ini menghanyutkannya. Sedangkan Runa Kamalini termangu-mangu.

Daksa Ardhana semakin menggelora, "Berpasangan...ibarat langit biru dan awan putih, seperti kerlip bintang dan cahaya rembulan. Begitulah perasaan kita, terjalin tak terpisahkan...ini patut dirayakan, Dewi..." 

Dewi Kembang tak mampu berkata-kata, jiwanya serasa melayang, lamaaa menatap pria itu, ketika bicara, suaranya serak-serak basah," Bagaimana kita merayakannya...?"

Dia mungkin sudah membayangkan nikmatnya lidah pria putih tampan ini.

Daksa Ardhana mengulurkan sesuatu kepada Dewi Kembang," Terimalah ini..."

Tanpa basa basi dan tanpa berpikir seribu kali, Dewi Kembang menyambarnya.

Cincin emas berhiaskan bunga melati putih terbuat dari perak, kini berada ditelapak tangannya. Sungguh indah. Mata Dewi Kembang dan Runa Kamalini tak berkedip menatapnya..

"Pakailah di jemarimu..." ujar Daksa Ardhana, menyadarkan rasa kagum mereka.

Dewi Kembang dengan perlahan, mirip gerak lambat, memasukkan cincin itu ke jari tengah, sambil mendesah, diiringi kerlingan mata manja ke pria dihadapannya. Lalu memamerkan cincin yang disematkan ke jari. Daksa Ardhana seketika terpesona akan lentiknya jari-jari itu, ingin rasanya menjilatinya, lalu mengulumnya.

Runa Kamalini melihat aksi itu, langsung cekikikan dalam hati, "Kedua orang ini sedang mempertontonkan lakon mabuk kepayang lupa daratan. Apakah kali ini Dewi Kembang mampu mengatasi seperti biasanya?. Yang pasti ujung lidah pria ini, tak akan mampu memuaskan..." 

Seakan merasa gerah, tiba tiba Dewi Kembang melepas ikatan tali jubah lalu menyingkap jubahnya, gerakannya sangat wajar, namun telah membius mata Daksa Ardhana yang melihat dibalik jubah itu, Dewi Kembang memakai baju tipis ketat bercorak bunga dengan potongan leher sangat rendah, memamerkan belahan dada dengan sebagian susu putih montok menyembul, bergerak halus naik turun. Dan dari tubuh wanita ini menguar bau tajam, lebih harum dari bunga melati miliknya. Hidungnya tergoda untuk menghirupnya berkali-kali.

Beberapa saat mata Daksa Ardhana terpaku disana. Bahkan dia berusaha lebih liar menjelajah gumpalan daging putih lunak nan lembut, dibalik baju tipis itu, seolah ingin melumatnya.

Dewi Kembang pun nampak sengaja merelakan tatapan pria dihadapannya ini menjamah sepuas-puasnya disekitar wilayah dadanya. Bahkan pura-pura merasa gatal, dia menggaruk perlahan-lahan dengan jari telunjuk ke sela-sela susunya. Seolah sebuah isyarat, membuat hasrat Daksa Ardhana semakin bergejolak, mata kian melotot, nafas memburu, terdengar mendesah tertahan, raut mukanya memerah, titik peluh muncul di wajahnya dan dari sudut bibirnya merembes  air ludah, kumisnya yang sebelumnya tegak, kini layu, tetapi...

Mendadak dia melihat sesuatu membesar dan menonjol di selangkangannya...pisang siapa ini? Merasa tidak membawa buah pisang...Terkejutlah dia, ternyata itu bukan pisang, itu adalah benda pusaka miliknya, dan benda itu semakin memanjang, mengeras, tegak, kaku...kian takjublah dia dengan ukurannya. Padahal beberapa waktu lalu, saat dia sebagai pasiennya ning Errot, benda miliknya ini hanya mampu membesar separuhnya ukuran saat ini? Seumur-umur belum pernah barang miliknya bisa mencapai segede ini.

 Tapi...ukurannya memang dahsyat, hanya rasanya makin lama sangat mengganggu, tidak nyaman, seperti diperas-peras dengan kuat, jarem...dia mengerang...

Dia bukan orang sembarangan, berilmu tinggi, betapa tolol dirinya. Seketika dia menutup mata, mengatur nafas, mengolah hawa murninya, menyingkirkan semua ingatan tentang wilayah sekitar dada wanita, meredam gejolak hawa nafsunya, melemaskan barang miliknya, mengurangi rasa jaremnya.

Dan sejenak kemudian olah nafas dan konsentrasi pikirannya berhasil, ketika tiba tiba telinganya mendengar suara Dewi Kembang...merintih-rintih lirih. Suara itu pelan tapi sangat tajam menghunjam perasaan dan tidak mudah diredam.

Tersadarlah dirinya kini, ternyata betina dihadapannya ini sedang mencoba mempermainkannya, mengujinya, sengaja membuatnya terlena. Mula-mula menyerangnya lewat indera mata, menggoda dengan belahan dada, bersamaan itu menyerang indera penciuman dengan semerbak bau harum tubuhnya, kini indera pendengarannya juga diserang suara rintihan.

Dengan mengerahkan ilmunya dia membuntu indera penciuman dan menutup pendengarannya. Dia bernafas lewat mulutnya. Dirinya seakan mati suri, hidung tak bernafas dan telinga menjadi tuli.

Tetapi, hal itu tidak mudah, bau harum tubuh wanita memang bisa diatasi, tapi suara rintihan itu telah menusuk tajam di relung-relung hatinya, sungguh merasuki jiwanya, membuatnya merasa penasaran. Seperti dihipnotis Daksa Ardhana perlahan-lahan membuka kedua matanya...dan melihat Dewi Kembang, sambil meramkan mata sedang meremas-remas susunya yang dibungkus baju tipis ketat. Mulutnya berulang-ulang mendesah dan merintih.

Ini sungguh terlaaluuu, dan dirasakannya barang miliknya yang sudah melemas dan kembali ke ukuran normal dengan cepat mulai membesar, mengeras, tegak dan kaku mirip bambu, sangat menyakitkan rasanya...jaremnya minta ampun, pembuluh darahnya seperti meledak-ledak.

Tidak tahan dengan cobaan ini, tiba-tiba Daksa Ardhana berdiri, kursi yang di dudukinya jungkir balik. Kemudian dia memekik, sambil menutupi pisang besar di selangkangan dengan kipas bergambar melati...sekali loncat, dirinya telah sampai di ujung tangga, meloncat lagi, sampai di lantai bawah, kemudian meloncat sambil menutul sebuah meja, tubuhnya melayang menerjang melewati pintu keluar, lalu ngacir sekencang-kencangnya...diiringi gelak tawa keras ke dua wanita.

Sakitnya tuh disini...

Pertunjukan itu membuat Runa Kamalini perutnya sakit menahan tawa, air keluar dari mata, hingga tubuhnya terjungkal dari kursi.

"Mengapa kau lepaskan pria putih tampan itu?" tanya Runa Kamalini sambil mengusap air mata.

"Kini aku beralih ke brondong putih. Pucuk lidah mereka ahli merajalela, liar di daerah sasaran." jawab Dewi Kembang. Jubah miliknya telah diikat kembali, rapi dan tertutup rapat, kini tak ada setitik auratpun yang tampak.

"Wkkwkwk...dan cincin itu, apa masih kau pakai, lihatlah...sepuhan emasnya sudah mulai luntur."

"Ahh...aku hampir lupa dengan cincin keparat ini. Sungguh berani-beraninya dia memberi aku dengan barang mainan, apa dipikirnya kita ini masih anak gadis ingusan, yang bisa diperdayai."

Dewi Kembang kemudian melepas cincin itu dari jari tengahnya, menjepit menggunakan ibu jari dan jari telunjuk, dia meremas-remasnya menjadi bundar seukuran biji ketumbar, lalu menyentilnya ke tiang kayu, hingga benda itu tenggelam didalamnya.

Pelayan pun akhirnya datang membawa makanan yang dipesan. Menyajikan di atas meja. Setelah lebih dulu memberi tip lima rup (mata uang perak) kepada pelayan, dua wanita itu langsung menyantap hidangan.

Waktu pun berlalu, dua wanita itu masih asyik menikmati makanannya, namun setiap kedatangan pengunjung di lantai dua tidak akan lepas dari perhatiannya. Runa Kamalini mengangkat keningnya saat melihat tiga lelaki berpakaian bak bangsawan berjalan ke meja di pojok utara. Langkah mereka ringan, sikap mereka tenang, tidak ingin menarik perhatian. Seorang pelayan buru-buru datang meladeni mereka.

"Tasyahmut bersaudara...!" bisik Runa Kamalini

Dewi Kembang mengangguk, "Mungkin mereka salah satu pemilik d'han yang dipilih. Aneh rasanya kalau bersusah payah ikut-ikutan di tim pemburu, hanya demi sebagian hadiah. Kekayaan keluarga ini hampir menyamai seorang pangeran."

"Jangan-jangan mereka pengundangnya."

Dewi Kembang mengangkat bahu, lalu melahap pisang bakar yang dituang madu dan ditaburi remah-remah kacang mede.

Tak berselang lama seorang laki-laki dan seorang perempuan menaiki lantai dua, berpakaian biru dan kuning, mereka memilih meja dekat jendela. Hampir beriringan dibelakang mereka, nampak sepasang pemuda pemudi, ke duanya berjubah putih dipadukan dengan warna jingga, menuju ke meja sisi selatan, saat akan duduk di kursi, tiba-tiba berhenti melangkah, mata mereka serempak memandang ke arah Dewi Kembang dan Runa Kamalini. Sorot mata si nona menyorot tajam menghunjam punggung Dewi Kembang.

Si pemuda buru-buru menggamit lengan si nona, sambil menggelengkan kepala, mencegahnya bila berniat mendatangi meja Dewi Kembang. Tapi si nona langsung menolaknya, raut wajahnya tegang memendam amarah, kemudian melangkah lebar menuju Dewi Kembang. Si pemuda hanya bisa menghembuskan nafas panjang, lalu mengikuti langkah si nona.

Dewi Kembang dan Runa Kamalini saat itu masih menikmati hidangan, merasa terkejut ketika tiba-tiba di samping mejanya telah berdiri seorang gadis berusia duapuluhan. Wajahnya cantik, berkulit hitam manis, tapi sedang menatap marah kearah Dewi Kembang.

"Siapakah nona, adakah yang bisa aku bantu?" tanya Dewi Kembang, setelah menghentikan makannya. Menoleh kearah si nona dan balas menatap lekat-lekat. Dia merasa akan timbul keributan. Otaknya berputar, mengingat-ingat dimanakah pernah bertemu dan kesalahan apa telah dia perbuat.

Si nona dengan berkacak pinggang, nampak semakin meradang, "Dewi Kembang, masih ingatkah kau, dengan laki-laki bernama Waras Hayampongah..?"

"Tidak..." kalem saja Dewi Kembang menjawab

Sikap Dewi Kembang sungguh menyepelekan si nona, suaranya bergetar,"Bukankah hingga kira-kira tiga tahun lalu, dirimu terkenal dengan sebutan si peternak kumbang madu, tentu kau masih ingat nama-nama lelaki yang pernah kau jadikan kumbang itu..?"

Dewi Kembang mengerutkan kening, "Ahh...julukan itu sudah aku lupakan. Dunia sudah menerima tobatku. Kira-kira lebih tiga tahun lalu, memang banyak lelaki rela mengelilingiku, mengikutiku, melayaniku, merangkak dihadapanku, berebut rela ingin menjadi budakku. Hingga aku merasa muak dan jijik kelakuan mereka, dan telah ku usir mereka. Jadi perlu apa, aku harus tahu nama-nama mereka. Termasuk nama yang kau tanyakan itu, bila memang salah satu dari mereka?"

Gemetar tubuh si nona, geram gak ketulungan, menuding tepat ke arah hidung Dewi Kembang, nada suaranya meninggi, "Dasar mulut bau...! Kau cocok hidung mereka dengan racunmu, sehingga mereka rela mengikutimu. Lalu kau usir mereka setelah kau peras harta miliknya, hingga mereka tak memiliki apa-apa, kecuali pakaian menempel di badan. Kemudian kau mencari korban-korban baru, kau pilih-pilih mangsamu, status mereka, derajat mereka, kedudukan mereka. Sekarang mulut baumu dengan entengnya ngomong, kau jijik dan muak dengan mereka, kau tak perlu tahu nama mereka...!" 

Dewi Kembang merasa tersudut dan tidak mampu menahan sabarnya, "Enak aja kalau bicara, mulutmu itu yang bau...aku tidak butuh racun agar dikagumi dan dipelototi para lelaki. Mereka terpikat dan terpesona oleh kecantikanku, perilaku dan sikapku. Dengan hati rela mereka bahkan mau ngintil ngesot dibelakangku. Mungkin orang yang namanya kau sebutkan tadi...Waras Hayampongah. Kau boleh tanyakan ke dia..." 

Si nona serasa tercekik ketika menjawab, "Dia sudah meninggal..."

Dewi Kembang menghembuskan nafas lega, "Sukurlah, kalau dia sudah mati, biar tidak lama-lama hidup merana di dunia ini."

Tiba-tiba si nona memekik, "Kurang ajar...!"      Sambil melontarkan pukulan dahsyat kearah wajah Dewi Kembang, yang masih duduk tegak di kursi.

 Sebenarnya Dewi Kembang sudah siap-siap sejak awal, kalau-kalau si nona ini menyerang, namun dia tidak menyangka sama sekali bila pukulan si nona ini langsung dengan tenaga puncaknya, disertai emosi tinggi. Ini namanya adu jiwa...

Merasakan angin pukulan, Dewi Kembang sudah bisa mengukur, tingkat kecepatan dan kekuatan ilmu si nona ini tingkatnya masih dibawahnya.

Dewi Kembang seketika menghindar pukulan si nona dengan doyongkan badan kebelakang, dan pukulan itupun lewat hanya berjarak sejengkal dari hidungnya. Begitu Dewi Kembang lolos dari hantaman pukulan si nona, dalam sekejap mata, Dewi Kembang melancarkan serangan balasan, sambil miringkan badan dia melayangkan pukulan, sasarannya ke ulu hati si nona.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun