Tampak sebaris senyum kepuasan di bibir Letnan Sukuni Sangkan Singkil. Wajahnya lega penuh kemenangan. Memuji ketegasan si Kapten.
Tidak demikian dengan Rangga Paradasta Lisat, senyuman di wajahnya sirna, berganti raut amarah yang tertahan, harga dirinya seakan terkoyak oleh ucapan si Kapten, jelas dia tersinggung, bahkan bibirnya bergetar ketika bicara,
" Aku disini adalah mewakili Tuan Sekretaris, apa yang ku ucapkan tadi, datangnya langsung dari mulutnya, anda seharusnya merasa berdiri dihadapan Tuan Sekretaris dan mematuhi perintah ini. Tapi bila surat itu yang anda minta, maka secepatnya akan anda dapatkan."
Setelah berkata dia cepat cepat beranjak dari kursi dan tanpa pamit berjalan keluar dari ruangan, diikuti Letnan Sen Kambil Rogowungu yang telah berdiri, dengan sikap tegak terlebih dahulu memberi hormat, tapi sebelum melangkah, masih sempat berkata,
" Saya disini hanya menjalankan tugas, Kapten. Jangan sampai nantinya ada perasaan tidak senang terhadap saya dan anak buah."
" Saya mengerti, Letnan. Saya tanggung hal itu tidak akan terjadi."Â
Letnan Sen Kambil Rogowungu pun meninggalkan ruangan.
Mendadak Kapten Sen Umbun Kasawalan mengerang sambil membekap mulut. Dari sela jari merembes cairan yang keluar dari mulutnya berupa gumpalan darah menghitam. Seketika itu dirinya sudah tak sadarkan diri, tubuhnya terjungkal hendak menghantam meja.
Letnan Sukuni Sangkan Singkil sedetik tadi masih duduk di kursinya, tiba tiba kini sudah berdiri di belakang tubuh Kapten Sen Umbun Kasawalan, menahannya agar tidak menghantam meja, lalu menyandarkan ke kursi. Kemudian memberikan pertolongan pertama dengan menyalurkan tenaga dalam murni ke tubuh si Kapten, sampai Kaptennya itu mulai sadar dan mampu menggunakan tenaga dalam sendiri.
Sepertinya Si Letnan sudah terbiasa menangani kondisi pingsan Kaptennya. Awal mulanya kira kira setahun lalu, juga di ruangan ini, perkenalannya ditandai pingsannya si Kapten dengan muntah darah hitam. Dalam bingungnya, akhirnya berinisiatif menyalurkan tenaga murni ke tubuh Kaptennya. Dan tindakan itu berlanjut hingga sekarang.
Apa yang menimpa Kaptennya adalah akibat efek buruk dari sebutir obat tadi. Obat yang seharusnya tidak boleh dipakai, bila keadaannya dirasa tidak memaksa.Â