Mohon tunggu...
Dewi Mariya Ulfah
Dewi Mariya Ulfah Mohon Tunggu... Freelancer - Pengajar & Freelance Writer

Pengajar yang berusaha menjadi pendidik dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelangi di Tanah Dayak, "Based on True Story"

26 Mei 2019   11:31 Diperbarui: 26 Mei 2019   11:35 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak disangka, tak pernah terpikirkan sebelumnya, aku berada di tempat ini sekarang. Aku berada jauh dari tempat kelahiranku. Aku melompat ke pulau seberang, ke satu pulau yang tampak bagiku adalah hutan. Tak bisa aku berkata-kata. 

Hanya mata ini yang berlarian melihat sekeliling, menembus jutaan pohon kelapa sawit yang menutupi jalan masuk yang kulewati tadi. Sungguh, disinikah aku hidup sekarang? Tuhan, tempat apa ini?

"Ini Bu Mira?" Sapaan salah seorang warga membuatku tergagap. Membuatku secepatnya mengusir keheranan yang sedari tadi dengan nyaman duduk di pikiranku.

"Eh..... Iya pak. Saya Mira."

"Ibu guru baru itu? Yang akan mengajar bahasa Inggris di SMP?"

"I...i...iya pak. Saya akan mengajar bahasa Inggris di SMP." Nada jawaban yang kuberikan terdengar seperti gelombang laut yang berusaha mencapai tepian. Begitu gagap, panik, bingung, terdengar berisik oleh sejuta keheranan yang belum juga pergi meskipun sudah ku usir.

"Selamat datang di Perkebunan Kelapa Sawit Kalimantan Tengah, bu! Selamat bekerja disini! Bu Mira pasti kaget ya dengan tempat ini?! Ya beginilah bu, namanya juga perkebunan kelapa sawit, ya seperti hutan. Tapi jangan khawatir, bu, disini kami sudah seperti keluarga sendiri. Kami siap saling bantu meskipun kami tidak ada hubungan darah sama sekali." 

Sambutan selamat datang dan penjelasan panjang lebar dari salah satu guru yang sudah 8 tahun tinggal, juga bekerja di sekolah perkebunan ini ku respon hanya dengan senyuman dan anggukan. Entah kenapa kata-kata ini masih belum mau keluar sepenuhnya. Kata-kata ini masih bersembunyi di balik segala kebingungan dan keheranannya.

*******

Malam mulai datang, menampakkan wajahnya yang gulita. Selimut gelapnya tersebar menutupi perumahan kecil yang berisi rumah-rumah dinas para guru dan karyawan perkebunan sawit yang lain. Apa yang harus kulakukan esok di sekolah? Seperti apa murid-muridku disini? Sekeranjang penuh pertanyaan bertumpuk di kepala ini. Tak ada yang bisa menjawab. 

Tentu saja, dan hanya sepi ini yang menghiburku sepanjang malam hingga mentari pagi muncul, menyapa dengan senyum ramahnya, berusaha memberiku bunga semangat untuk memulai aktivitas baruku.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi

Ini pagi pertamaku di Tanah Dayak. Pagiku yang pertama di tanggal 7 Januari 2011. Dengan langkah pelan dan masih dengan segala kebingungan, aku memasuki satu bangunan panjang berbentuk U, dengan dinding dari papan, lantai yang hanya dari semen biasa, dan di kanan kiri juga depan belakang bangunan ini dikelilingi oleh tumbuhan hijau dan bunga-bunga liar yang tampak teduh, memberi kesan segar meskipun setiap hari terasa gerah.

"Selamat pagi, Ibu Guru!" Salam itu kudengar begitu sopan, begitu lembut keluar dari mulut anak-anak hutan sawit Kalimantan yang begitu lugu, begitu polos. Mereka terlihat manis dan masih murni tanpa goresan kenakalan remaja seusia mereka.

"Good morning, students! My name is Mira. I am from Malang, East Java..." Kusambut salam itu dengan nada suara penuh kekaguman. Kekaguman itu bertindak sangat cepat menyapu keraguan, keheranan, dan kebingungan yang dari awal aku datang selalu menemaniku. Kekaguman itu adalah mataku, untuk melihat betapa anak-anak Tanah Dayak ini begitu santun dalam bertutur kata. 

Begitu sopannya mereka saat berjalan. Begitu ramah sikap mereka dalam menerima orang baru seperti aku. Ah! Petunjuk pertama KAU berikan padaku, Tuhan, agar aku semakin memantapkan hatiku untuk membantu anak-anak ini mendulang pendidikan yang lebih baik. Tuhan, terima kasih di hari pertama ini.

*******

 Waktu semakin cepat saja berlari. Seminggu. Dua minggu. Waktu-waktu itu kulalui dengan senyuman. Tertawa. Keceriaan. Rasa nyaman tinggal di tengah hutan sawit mulai menetap, menempel kuat di hatiku. Aku sudah lupa bagaimana awal aku datang, untuk apa. 

Semua ingatan itu rasanya terhapus dengan sendirinya tanpa permisi, tanpa harus meminta izinku terlebih dulu untuk menghilang.

Aku damai disini. Hidupku teduh setiap hari harus ku isi dengan mengajari anak-anak itu berbahasa Inggris. Aku tak peduli lagi dengan kehidupan kota yang hingar-bingar dan serba sibuk. Anak-anak ini nyawaku. Nafasku. Mereka pelangi dimataku.

*******

2 Mei 2013. Tak terasa tahun berganti. Hampir 3 tahun waktuku kuhabiskan di Tanah Dayak ini. Dan hari ini saatnya mengukir sejarah. Menciptakan keajaiban, bahwa anak-anak yang bersekolah di tengah hutan sawit ini mampu menjadi yang terbaik.

Setelah berminggu-minggu berlatih sampai menguras tenaga, mengorbankan waktu, salah satu muridku harus tampil berkompetisi dengan murid-murid lain di Kalimantan Tengah dalam Lomba Pidato Bahasa Inggris tentang pengolahan kelapa sawit.

Tangan ini tak henti-hentinya berkeringat. Badan ini lemas tak dapat disangga oleh apapun. Hawa panas dari garis khatulistiwa yang melewati Kalimantan mendorong keringatku untuk semakin banyak keluar saat Alin, muridku, mulai berdiri di atas panggung dan berpidato dengan bahasa Inggris. 'Huhf! Aku tak mengharap lebih, Tuhan. Jadikan saja Alin sebagai murid terbaik dalam lomba ini. Lancarkan pidato bahasa Inggrisnya saat ini.' 

Hanya itu doa yang sempat terselip di batinku. Tak banyak doa yang kutulis, aku hanya berharap Alin bisa mempersembahkan piala terbaiknya untuk sekolah. Dan benar saja. Itu terjadi beberapa jam setelah lomba. 

Alin menjadi pemenang kedua Lomba Pidato Bahasa Inggris se-Kalimantan Tengah untuk tingkat SMP, dan membawa pulang medali perak, piala, serta piagam. 'Terima kasih, Tuhan! Aku tahu, tak ada yang sia-sia dalam setiap usaha yang dilakukan dengan niat baik. Dan KAU memberi jalan kemudahan untuk kami. Terima kasih.' Doa pendek itu menutup hari indahku saat itu. 

Tak ada lagi warna putih awan yang menggantung di langit Borneo, yang tampak olehku hanya warna-warni indah pelangi yang menjulur ke bumi, menjadi jembatan bagiku dan murid-muridku untuk terus menciptakan keindahan disela perbedaan yang berkilau bagai emas di Tanah Dayak ini. Di bumi Indonesia ini, keberagaman adalah pelangi terindah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun