Menang dengan Keteguhan, Bukan Kemarahan
Gaya Gibran ini mengingatkan pada pepatah Tiongkok kuno: "Air yang tenang menghanyutkan, senyum yang lembut bisa menenggelamkan amarah." Dalam politik yang sering gaduh, Gibran justru menemukan kekuatannya dalam ketenangan. Ia tahu bahwa kemarahan adalah bahan bakar bagi mereka yang menuduh. Maka, ketika Roy Suryo dan dr. Tifa mencoba memancingnya di kolam emosi, Gibran menolak memancing balik. Ia cukup berkata terima kasih---dan seluruh narasi pun berbalik arah.
Tindakan Roy dan dr. Tifa ke makam keluarga Jokowi kini tampak seperti langkah yang kehilangan makna moral. Banyak pihak menilai itu melewati batas kepatutan, karena area pemakaman adalah tempat suci, bukan arena pembuktian politik. Bahkan sejumlah tokoh publik menyebutnya "cara paling kasar untuk mencari sensasi." Tapi Gibran tak perlu mengucapkan satu kata pun untuk membantahnya---reaksinya sendiri sudah cukup membongkar absurditas tindakan itu.
Ketika Ketenangan Menjadi Bahasa Politik Baru
Dalam konteks yang lebih luas, sikap Gibran bisa dibaca sebagai bentuk kecerdasan emosional politik. Ia memahami bahwa di era media sosial, publik tak hanya menilai siapa yang benar, tapi juga siapa yang tampak tenang. Keanggunan dalam menghadapi tuduhan sering kali lebih memikat daripada pembelaan yang berapi-api. Itulah mengapa banyak netizen memuji Gibran sebagai politisi yang "nggak gampang tersulut."
Gibran seolah sedang menulis ulang kitab komunikasi politik modern: ketika diserang, jangan menangkis dengan batu, tapi dengan bunga. Saat diolok, oloklah balik dengan senyum. Dan bila lawan datang ke makam leluhurmu dengan prasangka, sambutlah dengan ucapan terima kasih. Karena, seperti kata filsuf Marcus Aurelius, "Balas dendam terbaik adalah menjadi tidak seperti mereka yang berbuat tidak adil."
Senyum yang Lebih Tajam dari Amarah
Dalam dunia politik yang kerap riuh, Gibran menunjukkan bahwa kadang diam bisa lebih keras dari pidato, dan rasa terima kasih bisa lebih menusuk dari marah. Roy Suryo dan dr. Tifa mungkin tak menyangka, ziarah mereka bukan membuka rahasia silsilah, melainkan membuka jendela karakter: bahwa kebencian, bila dibalas dengan ketenangan, akan memantul seperti bumerang ke wajah pemiliknya sendiri.
Dan di situlah, di antara nisan, doa, dan tawa kecil di media sosial, Gibran membuktikan satu hal: bahwa dalam politik hari ini, kebijaksanaan bukan soal kata-kata yang keras, tapi tentang memilih kapan harus tersenyum.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI