Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Berjiarah Untuk Tuduhan: Gibran dan Seni Membalas dengan Senyum

10 Oktober 2025   13:58 Diperbarui: 10 Oktober 2025   13:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wapres Gibran Rakabuming Raka (Kompas)


Ketika Serangan Politik Dipatahkan dengan Satu Kata: Terima Kasih

Ziarah yang Bukan Sekadar Ziarah

Ada kalanya politik di negeri ini terasa seperti panggung sandiwara tak bertepi. Tokoh-tokoh tampil dengan naskah sendiri, dan penonton dibuat tak tahu mana yang satire dan mana yang serius. Begitulah suasananya ketika Roy Suryo dan dr. Tifa---dua sosok yang belakangan dikenal getol menuduh ijazah Presiden Jokowi dan keluarganya palsu---tiba-tiba berziarah ke makam keluarga Jokowi di Solo.

Tapi jangan salah, ini bukan ziarah yang biasa. Kedatangan mereka bukan untuk mendoakan, melainkan untuk mencari "bukti" silsilah keluarga Jokowi. Mereka memotret nisan, memperhatikan nama, usia, bahkan letak makam, seolah sedang melakukan penelitian arkeologis dadakan. Publik pun terbelah: sebagian menganggap langkah itu keterlaluan, sebagian lagi menganggapnya aksi simbolik yang kebablasan.

Gibran: Balasan yang Membungkam Tanpa Kata Kasar

Namun yang menarik bukanlah aksi mereka, melainkan reaksi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi yang kini menjabat Wakil Presiden. Dalam laporan Kompas (10/10/2025), Gibran menanggapi dengan tenang. "Kalau itu maknanya doa, saya ucapkan terima kasih saja," ujarnya singkat. Tanpa amarah, tanpa nada tinggi. Kalimat pendek itu justru terasa seperti tamparan halus, senjata tanpa suara yang memantul lebih keras dari teriakan mana pun.

Sikap Gibran ini menunjukkan satu hal: ia paham benar cara mengelola provokasi. Alih-alih terpancing, ia membiarkan serangan itu menjadi bumerang bagi pelakunya. Publik yang semula mungkin menonton dengan sinis, tiba-tiba merasa simpati. Gibran menang tanpa harus berperang. Ia tak sedang membela diri; ia sedang menampilkan gaya komunikasi yang jarang dimiliki politisi muda---gaya yang tenang, elegan, dan penuh ironi.

Dari "Belimbing Sayur" Jadi Branding Politik

Dan ini bukan kali pertama Gibran bermain dengan cara seperti itu. Kita masih ingat ketika ia dijuluki "belimbing sayur" oleh para pengkritik yang mengejeknya sebagai calon pemimpin yang hambar dan tanggung. Alih-alih tersinggung, Gibran justru menjadikan "belimbing sayur" sebagai bahan olok-olok balik. Ia unggah foto dirinya memegang belimbing di media sosial, menulis caption jenaka, bahkan menjadikannya semacam branding baru.

Simbol ejekan diubah menjadi identitas humoris---dan publik justru terhibur. Dalam ilmu komunikasi, ini disebut strategi bumerang: memanfaatkan serangan lawan untuk memperkuat diri sendiri.

Menang dengan Keteguhan, Bukan Kemarahan

Gaya Gibran ini mengingatkan pada pepatah Tiongkok kuno: "Air yang tenang menghanyutkan, senyum yang lembut bisa menenggelamkan amarah." Dalam politik yang sering gaduh, Gibran justru menemukan kekuatannya dalam ketenangan. Ia tahu bahwa kemarahan adalah bahan bakar bagi mereka yang menuduh. Maka, ketika Roy Suryo dan dr. Tifa mencoba memancingnya di kolam emosi, Gibran menolak memancing balik. Ia cukup berkata terima kasih---dan seluruh narasi pun berbalik arah.

Tindakan Roy dan dr. Tifa ke makam keluarga Jokowi kini tampak seperti langkah yang kehilangan makna moral. Banyak pihak menilai itu melewati batas kepatutan, karena area pemakaman adalah tempat suci, bukan arena pembuktian politik. Bahkan sejumlah tokoh publik menyebutnya "cara paling kasar untuk mencari sensasi." Tapi Gibran tak perlu mengucapkan satu kata pun untuk membantahnya---reaksinya sendiri sudah cukup membongkar absurditas tindakan itu.

Ketika Ketenangan Menjadi Bahasa Politik Baru

Dalam konteks yang lebih luas, sikap Gibran bisa dibaca sebagai bentuk kecerdasan emosional politik. Ia memahami bahwa di era media sosial, publik tak hanya menilai siapa yang benar, tapi juga siapa yang tampak tenang. Keanggunan dalam menghadapi tuduhan sering kali lebih memikat daripada pembelaan yang berapi-api. Itulah mengapa banyak netizen memuji Gibran sebagai politisi yang "nggak gampang tersulut."

Gibran seolah sedang menulis ulang kitab komunikasi politik modern: ketika diserang, jangan menangkis dengan batu, tapi dengan bunga. Saat diolok, oloklah balik dengan senyum. Dan bila lawan datang ke makam leluhurmu dengan prasangka, sambutlah dengan ucapan terima kasih. Karena, seperti kata filsuf Marcus Aurelius, "Balas dendam terbaik adalah menjadi tidak seperti mereka yang berbuat tidak adil."

Senyum yang Lebih Tajam dari Amarah

Dalam dunia politik yang kerap riuh, Gibran menunjukkan bahwa kadang diam bisa lebih keras dari pidato, dan rasa terima kasih bisa lebih menusuk dari marah. Roy Suryo dan dr. Tifa mungkin tak menyangka, ziarah mereka bukan membuka rahasia silsilah, melainkan membuka jendela karakter: bahwa kebencian, bila dibalas dengan ketenangan, akan memantul seperti bumerang ke wajah pemiliknya sendiri.

Dan di situlah, di antara nisan, doa, dan tawa kecil di media sosial, Gibran membuktikan satu hal: bahwa dalam politik hari ini, kebijaksanaan bukan soal kata-kata yang keras, tapi tentang memilih kapan harus tersenyum.***MG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun