Keempat, usulan pemotongan Transfer ke Daerah (TKD).Â
Purbaya menyebut banyak pemerintah daerah menumpuk dana transfer di bank tanpa realisasi anggaran signifikan. "Banyak uang nganggur di daerah, rakyatnya tetap miskin," ujarnya. Pernyataan ini menuai protes dari para gubernur yang menilai kebijakan itu berisiko memperparah ketimpangan fiskal (CNN Indonesia, 7 Oktober 2025).
Dari semua ini tampak satu benang merah: Purbaya berani bicara apa adanya --- bahkan terhadap sesama pejabat tinggi. Saat Luhut Binsar Pandjaitan menegurnya agar berhati-hati mengeluarkan pernyataan, Purbaya menanggapi santai: "Saya hanya menyampaikan fakta."
Gaya Purbaya dan Bayangan Sri Mulyani
Publik sering membandingkan gaya Purbaya dengan Sri Mulyani. Keduanya sama-sama dikenal rasional, tajam dalam analisis, dan tidak mudah terbawa arus politik. Namun, cara keduanya berkomunikasi jelas berbeda.
Sri Mulyani memilih kata-kata diplomatis, berhitung pada dampak politik setiap kalimat, dan menjaga hubungan dengan stakeholder. Ia memelihara ketegasan dalam kesunyian: keras di substansi, lembut dalam penyampaian.
Purbaya sebaliknya --- lugas, konfrontatif, dan kadang provokatif. Dalam setiap pernyataannya, ada nada tantangan bagi status quo. Gaya ini bisa membangunkan sistem yang tidur, tapi juga menimbulkan resistensi dari mereka yang terusik kepentingannya.
Seperti kata Lao Tzu, "Air yang lembut dapat mengikis batu yang keras, karena ia tahu kapan harus mengalir dan kapan harus diam." Sri Mulyani mempraktikkan filosofi itu. Sementara Purbaya, tampak lebih percaya bahwa batu hanya bisa dipecah dengan palu.
Risiko Gaya Bulldozer
Sejarah menunjukkan, pejabat yang berani menabrak sistem sering kali berumur pendek secara politik. Ignasius Jonan di Kementerian ESDM, Susi Pudjiastuti di Kelautan, dan Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta --- semuanya tegas dan benar dalam banyak hal, tapi kalah oleh politik yang cair dan sensitif.