Purbaya Yudhi Sadewa, Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang kini juga menjabat Menteri Keuangan, tengah menjadi figur yang menarik perhatian publik.Â
Gaya bicaranya blak-blakan, kadang satir, kadang menohok --- gaya yang mengingatkan publik pada Sri Mulyani di masa-masa tegang fiskal. Namun bedanya, jika Sri Mulyani tegas namun diplomatis, Purbaya tampil dengan gaya "bulldozer": menabrak langsung, tanpa filter kata-kata, seolah ingin memaksa sistem yang macet agar segera bergerak.
Antara Fakta dan Friksi
Beberapa pernyataannya baru-baru ini mengguncang ruang ekonomi dan politik.Â
Pertama, soal pemindahan simpanan pemerintah dari Bank Indonesia (BI) ke bank nasional.Â
Ia menyebut pemerintah akan mengalihkan dana sekitar Rp200 triliun dari BI ke bank BUMN (Himbara) agar uang negara tidak "menganggur" di bank sentral. "Daripada parkir di BI tanpa manfaat langsung, lebih baik memperkuat likuiditas nasional," ujarnya dalam sebuah forum ekonomi (Tempo, 3 Oktober 2025).
Kedua, soal cukai rokok.Â
Dalam rapat terbuka, Purbaya melontarkan kalimat yang viral: "Wah tinggi amat, Fira'un lu," menanggapi laporan tarif cukai rata-rata yang mencapai 57 persen. Ia menilai tarif tinggi justru mendorong peredaran rokok ilegal dan merugikan industri kecil. Namun, ia menegaskan belum ada keputusan final soal kenaikan atau penurunan cukai 2026, karena masih menunggu kajian lapangan dan masukan dari asosiasi industri.
Ketiga, kritiknya pada Pertamina.Â
Ia secara terbuka menuding BUMN energi itu "malas-malasan" membangun kilang minyak baru. "Kalau terus lambat, ya potong saja dananya, atau ganti dirutnya," katanya di rapat Komisi XI DPR (tvOneNews, 4 Oktober 2025). Kritik keras ini sontak memantik reaksi Pertamina yang membela diri dengan alasan kompleksitas proyek kilang.