Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Amicus Curiae untuk Nadiem: Intervensi atau Mencari Keadilan?

4 Oktober 2025   12:37 Diperbarui: 4 Oktober 2025   12:37 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika politik dan hukum bertaut dalam drama korupsi, barangkali rangkaian kata "Amicus Curiae" kini ikut tampil dalam babak baru skandal yang melibatkan mantan Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim. Ia mengajukan peninjauan kembali (atau praperadilan) atas statusnya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook di Kemendikbudristek. 

Langkah yang sebetulnya adalah hak hukum biasa ini berubah menjadi sorotan publik ketika muncul "sahabat pengadilan" --- orang-orang terkemuka --- yang secara bersama mendaftar sebagai Amicus Curiae untuk membelanya. Tapi, benarkah ini cermin pencarian keadilan? Ataukah ini intervensi terselubung?

Ringkasan Perkara: Apa, Siapa, Dan Kenapa?

Secara singkat, Nadiem Makarim ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung atas dugaan korupsi pengadaan sistem Chromebook di Kemendikbudristek. Ia merasa penetapan itu tidak beralasan --- kecurigaan belum cukup, alat bukti belum kuat --- maka ia mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar status tersangka dibatalkan. 

Yang kemudian jadi sorotan adalah bahwa dalam persidangan praperadilan tersebut, 12 tokoh antikorupsi dan hukum secara kolektif mengajukan diri sebagai Amicus Curiae (sahabat pengadilan). 

Berikut nama-nama yang muncul dalam daftar:

  1. Amien Sunaryadi (mantan pimpinan KPK periode 2003--2007)
  2. Arief T. Surowidjojo (pegiat antikorupsi & pendiri MTI)
  3. Arsil (peneliti senior Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan)
  4. Betti Alisjahbana (pegiat antikorupsi)
  5. Erry Riyana Hardjapamekas (mantan pimpinan KPK periode 2003--2007)
  6. Goenawan Mohamad (penulis, pendiri Tempo)
  7. Hilmar Farid (aktivis & akademisi)
  8. Marzuki Darusman (mantan Jaksa Agung 1999--2001)
  9. Nur Pamudji (mantan Dirut PLN)
  10. Natalia Soebagjo (pegiat antikorupsi, anggota Transparency International)
  11. Rahayu Ningsih Hoed (advokat)
  12. Todung Mulya Lubis (pegiat antikorupsi) 

Para tokoh ini menyatakan bahwa mereka tidak meminta agar praperadilan dikabulkan atau ditolak secara langsung, melainkan ingin memberi masukan kepada hakim tentang bagaimana seharusnya proses penetapan tersangka dan praperadilan berjalan sesuai prinsip keadilan (fair trial) dan transparansi. 

Mereka mendesak agar penyidik menjelaskan secara gamblang dasar penetapan tersangka (apa tindak pidana yang dituduhkan, bukti apa yang mendasarinya) dan menolak logika "siapa yang mendalilkan harus membuktikan" dalam konteks praperadilan, yang menurut mereka bukanlah mekanisme perdata. 

Dengan demikian, langkah sejumlah tokoh ini bisa dibaca sebagai usaha memperkuat posisi hukum Nadiem --- dalam artian memberi dukungan argumentatif --- sekaligus mendesak agar institusi hukum memperbaiki cara kerja praperadilan secara umum.

Apa Itu Amicus Curiae? Makna & Fungsi dalam Proses Hukum

Frasa Latin amicus curiae berarti "sahabat pengadilan" --- pihak yang bukan partai dalam perkara, tetapi memiliki kepedulian atau keahlian, sehingga memberi pendapat kepada pengadilan. 

Dalam praktik peradilan Indonesia, amicus curiae tidak secara eksplisit diatur dalam banyak undang-undang pidana; posisinya lebih sebagai instrumen pengembangan dari kewajiban hakim untuk menggali nilai keadilan dan fakta yang hidup di masyarakat. 

Beberapa dasar hukum yang sering dirujuk:

  • Pasal 5 ayat (1) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman --- hakim wajib menggali nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat 
  • Pasal 14 Peraturan MK 06/PMK/2005 --- pengakuan pihak terkait tidak langsung (ad informandum) 
  • Pasal 180 ayat (1) KUHAP --- hakim dapat meminta bahan baru atau keterangan dari pihak berkepentingan jika diperlukan untuk menjernihkan perkara 

Dalam praktik, amicus curiae bersifat "pendapat tambahan", bukan alat bukti formal. Majelis hakim memiliki kebebasan penuh --- dapat mempertimbangkan, sebagian atau menolak pendapat amicus curiae --- tanpa kewajiban mengabulkannya. 

Hukumonline mencatat: "Amicus curiae berfungsi untuk membantu hakim agar dapat adil dan bijaksana dalam memutus suatu perkara." 

Jadi dalam teori: jaminan pluralitas perspektif, agar hakim tak hanya bergantung pada dalil para pihak, tetapi juga mendengar suara "luar" yang punya kompetensi.

Intervensi atau Keadilan? Batas Tipis yang Harus Dijaga

Kalau amicus curiae adalah "teman pengadilan", siapa yang menjadi sahabat? Apakah mereka benar-benar netral? Atau sekadar "spesialis pembelaan" di balik topeng publik?

Ketika mantan tokoh penegak hukum, pegiat antikorupsi, akademisi, dan aktivis ikut membela Nadiem --- ini memberi kesan kuat: mereka ikut "main politik hukum". Bisa diinterpretasikan sebagai dukungan moral dan argumentatif, tetapi di sisi lain bisa juga sebagai "intervensi kalem" ke proses hukum.

Penulis hukum menyoroti dua bahaya:

  1. Pengaruh sosial-politis: kehadiran nama-nama besar bisa mendistorsi persepsi bahwa kasus ini bukan sekadar soal hukum, melainkan perebutan reputasi.
  2. Preseden intervensi: jika setiap terdakwa penting dibela oleh tokoh masyarakat lewat amicus curiae, ruang netralitas pengadilan bisa terdesak.

Karena itu hakim harus berhati-hati. Putusan harus transparan alasan menerima/menolak masukan amicus curiae, bukan disembunyikan dalam jargon hukum. Jangan sampai muncul tuduhan kriminalisasi balik bahwa hakim memilih "teman" dalam kasus tertentu.

Kita pernah melihat kasus Hasto dan Tom Lembong, di mana sebagian pihak menuduh bahwa proses penegakan hukum "digerakkan" pasukan eksternal. Jika amicus curiae jadi wahana intervensi terselubung, kita bisa masuk ke situasi hukum terbalik: korban kecurigaan hukum dihakimi tak hanya di ruang persidangan, tetapi juga di arena opini publik.

Refleksi & Kesimpulan

"Keadaan hukum menjadi seperti pantulan kaca; siapa pun yang berdiri di depan bisa melihat bayangannya sendiri" --- demikian kira-kira nasihat dari filsuf hukum. Kalau amicus curiae adalah kaca itu, ia harus jernih, bukan buram.

Dalam kasus Nadiem, pengajuan amicus curiae oleh tokoh-tokoh penting bisa dibaca sebagai upaya memperkuat kontrol sosial terhadap proses hukum --- sebuah gerakan literasi hukum publik. Namun di tangan yang tak bijak, ini bisa jadi alat untuk membelokkan proses keinginan politik.

Oleh karena itu:

  • Hakim mesti menimbang masukan itu secara kritis & objektif, bukan dipengaruhi nama besar.
  • Putusan penerimaan atau penolakan amicus curiae harus transparan, terukur, dan terbuka.
  • Proses praperadilan harus dijalankan sesuai mekanisme hukum pidana, bukan seperti debat publik media massa.

Kita semua --- masyarakat, advokat, hakim --- wajib menjaga agar korupsi dilawan, hakim tidak diintervensi, dan keadilan tetap menjadi landasan utama. Karena jika keadilan tersandera oleh kekuasaan ataupun pengaruh, apa bedanya kita dengan negeri yang hukum dan kekuasaan tak bisa dibedakan?

Semoga amicus curiae dalam perkara ini menjadi mekanisme memperkuat peradilan, bukan alat pelemahan.***MG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun