Kita pernah melihat kasus Hasto dan Tom Lembong, di mana sebagian pihak menuduh bahwa proses penegakan hukum "digerakkan" pasukan eksternal. Jika amicus curiae jadi wahana intervensi terselubung, kita bisa masuk ke situasi hukum terbalik: korban kecurigaan hukum dihakimi tak hanya di ruang persidangan, tetapi juga di arena opini publik.
Refleksi & Kesimpulan
"Keadaan hukum menjadi seperti pantulan kaca; siapa pun yang berdiri di depan bisa melihat bayangannya sendiri" --- demikian kira-kira nasihat dari filsuf hukum. Kalau amicus curiae adalah kaca itu, ia harus jernih, bukan buram.
Dalam kasus Nadiem, pengajuan amicus curiae oleh tokoh-tokoh penting bisa dibaca sebagai upaya memperkuat kontrol sosial terhadap proses hukum --- sebuah gerakan literasi hukum publik. Namun di tangan yang tak bijak, ini bisa jadi alat untuk membelokkan proses keinginan politik.
Oleh karena itu:
- Hakim mesti menimbang masukan itu secara kritis & objektif, bukan dipengaruhi nama besar.
- Putusan penerimaan atau penolakan amicus curiae harus transparan, terukur, dan terbuka.
- Proses praperadilan harus dijalankan sesuai mekanisme hukum pidana, bukan seperti debat publik media massa.
Kita semua --- masyarakat, advokat, hakim --- wajib menjaga agar korupsi dilawan, hakim tidak diintervensi, dan keadilan tetap menjadi landasan utama. Karena jika keadilan tersandera oleh kekuasaan ataupun pengaruh, apa bedanya kita dengan negeri yang hukum dan kekuasaan tak bisa dibedakan?
Semoga amicus curiae dalam perkara ini menjadi mekanisme memperkuat peradilan, bukan alat pelemahan.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI