Statistik Bisa Menipu, Tapi Rasa Sakit Anak-Anak Nyata
Dalam artikel Cek Fakta Kompas (2 Oktober 2025), klaim Presiden Prabowo Subianto bahwa angka keracunan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) hanya 0,00017 persen menuai sorotan. Angka itu disampaikan dalam pidato di Munas PKS sebagai penegasan bahwa kasus yang terjadi amat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penerima manfaat.Â
Namun penelusuran Kompas menemukan kejanggalan: perhitungan tersebut tidak jelas dasarnya. Apakah dibandingkan dengan jumlah seluruh siswa, jumlah penerima MBG, atau total populasi? Tanpa kejelasan, klaim itu menyesatkan.
Data resmi BGN sendiri menunjukkan bahwa dari Januari hingga September 2025 tercatat sekitar 75 kasus keracunan dengan lebih dari 5.900 orang terdampak. Jika dibandingkan dengan puluhan juta paket makanan, tentu proporsinya terlihat kecil. Tetapi menyebut angka 0,00017 persen tanpa transparansi justru berpotensi mengecilkan penderitaan nyata. Kompas menyimpulkan klaim itu menyesatkan karena menyembunyikan dampak sesungguhnya bagi ribuan korban.
SOP Misterius, Jam Terbang Rendah, dan Ribuan Korban
Di sinilah statistik berubah menjadi senjata retoris. Angka tanpa konteks bisa jadi alat propaganda. Seperti kata Nietzsche, "Whoever fights with monsters should see to it that in the process he does not become a monster." Menyajikan angka kecil untuk membungkam kritik sama artinya dengan mengabaikan ribuan anak yang muntah, pusing, bahkan kejang akibat makanan yang seharusnya bergizi.
Ironisnya, tanggapan dari pemerintah dan BGN masih jauh dari memadai. Barulah setelah kritik menguat, Kementerian Kesehatan berjanji membuat update harian kasus keracunan MBG, meniru publikasi data Covid-19. Langkah itu terkesan terlambat.Â
Sementara itu, Kepala BGN memilih menyalahkan dapur penyelenggara baru yang disebut masih kurang jam terbang. Pernyataan ini terdengar janggal, seolah ribuan anak dijadikan kelinci percobaan demi program yang belum matang. Jika memang sudah ada SOP yang ketat, mengapa kesalahan elementer bisa berulang?
Lebih membingungkan lagi, Kepala BGN sempat menyatakan bahwa Presiden memerintahkan seluruh MBG mengadopsi prosedur dapur POLRI karena belum ada kasus keracunan di sana. Artinya SOP yang selama ini diklaim sudah ada sebenarnya tidak kredibel. Di mana bukti prosedur itu jika ternyata harus diganti dengan standar lembaga lain?
Ketika Maaf Hanya Untuk Elite, Bukan Untuk Rakyat
Kesan diskriminasi pun muncul. Setelah cucu Mahfud MD dilaporkan ikut menjadi korban, Kepala MBG segera meminta maaf secara khusus. Namun ribuan siswa lain yang mengalami hal serupa tidak pernah menerima permintaan maaf yang setara. Publik pun melihat perbedaan perlakuan yang mencolok: ketika elite terkena, respons cepat muncul; ketika rakyat kecil terdampak, kasus direduksi menjadi sekadar angka persentase.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah MBG hanya menjadi ajang pencitraan? Program yang sejatinya lahir untuk melindungi anak-anak justru berubah menjadi ruang eksperimen yang penuh risiko. Jika pola komunikasi dan pengelolaan tidak segera dibenahi, maka yang tersisa hanya krisis kepercayaan.
MBG: Program Gizi atau Eksperimen Massal?
Evaluasi menyeluruh harus dilakukan, mulai dari pengadaan bahan baku, pelatihan SDM, hingga audit independen. Transparansi data mutlak diperlukan agar masyarakat tahu jumlah korban sesungguhnya, bukan sekadar persentase yang dipoles untuk kepentingan politik.Â
Lebih jauh, kepemimpinan di tubuh BGN perlu ditinjau kembali. Jika Kepala BGN gagal menunjukkan akuntabilitas, mundur bisa menjadi pilihan terhormat demi menyelamatkan kredibilitas program. Rakyat tidak butuh angka 0,00017 persen; rakyat butuh jaminan bahwa anak-anak mereka aman ketika menerima makanan dari negara.
0,00017 Persen: Angka Kecil, Krisis Kepercayaan Besar
Viktor Frankl pernah menulis, "Between stimulus and response there is a space. In that space is our power to choose our response." Pemerintah punya ruang untuk memilih: apakah menjadikan keracunan MBG sebagai pelajaran penting atau sekadar menutupinya dengan statistik. Karena sekecil apa pun persentase yang dipaparkan, rasa sakit ribuan anak tidak bisa direduksi menjadi angka.
Pada akhirnya, kasus MBG bukan soal matematika. Ia adalah soal moral, soal akuntabilitas, soal keberanian mengakui kesalahan. Jika terus berlindung di balik angka kecil, maka yang beracun bukan hanya makanan itu, melainkan juga nurani yang membiarkan rakyatnya menderita.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI