Dalam Munas PKS baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan sambutan yang, jika dibaca sekilas, tampak seperti pidato khotbah politik: "Mohon doa agar saya lebih berani melawan koruptor dan penyimpangan sistemik." (Kompas) Â Jika sejuta orang berdoa, apakah itu menjadikan keberanian menyalip rasa takut, atau justru menutupi kewajiban struktural yang harus dibangun?
Kanker Korupsi: Stadium Empat dan Metastasis Sistemik
Korupsi sudah lama bukan lagi luka kecil di tubuh negara, melainkan kanker stadium lanjut yang merambat ke setiap organ pemerintahan --- dari pengadaan barang hingga birokrasi paling bawah. Menurut laporan ICW, sepanjang 2024 potensi kerugian negara akibat kasus korupsi mencapai Rp 279,9 triliun --- melonjak drastis dibanding tahun sebelumnya.Â
Ironisnya, penindakan justru menurun. Hanya 364 kasus yang ditangani---angka terendah dalam lima tahun terakhir---dan dari jumlah tersebut hanya 48 kasus dijerat menggunakan Pasal 18 UU Tipikor (perampasan aset) serta 5 kasus melalui pasal pencucian uang.Â
Ini bukan saja soal angka---ini soal esensi keadilan: Ketika penindakan melemah, potensi keuntungan melahirkan "koruptor baru" semakin tinggi. Seperti kata Heraclitus: "You cannot step twice into the same river." Jika sistemnya sama, korupsi akan terus mengalir, meski namanya berganti.
"Doa Khusus" untuk Korupsi dan Sistemik: Retorika atau Pernyataan Kegundahan?
Minta doa---itulah yang disampaikan Prabowo dalam kata sambutannya. Ayat ini bisa dibaca sebagai permohonan yang tulus, atau sebagai distorsi tanggung jawab formal: "Berdoa agar saya bisa bekerja" bukannya "beri saya instrumen agar bisa bekerja." Doa itu penting dalam spiritual, tetapi bukan pengganti kemauan, regulasi, dan tindakan nyata.
Lebih ironis, dalam beberapa kesempatan ia pernah menyebut agar "keadilan bagi keluarga koruptor" diperhatikan. Juga isu amnesti dan abolisi pernah muncul: kasus Hasto, Tom Lembong, bahkan celah pembebasan koruptor lewat kebijakan politik pernah menjadi perbincangan. Bukankah ini seperti memohon agar penyakit bisa diampuni tanpa disembuhkan?
Meminta doa adalah hak setiap warga; tetapi ketika permohonan itu menyoal sesuatu yang seharusnya menjadi tanggung jawab---penciptaan sistem bersih, pengesahan undang-undang, kebijakan keras tanpa kompromi---maka doa bisa berubah menjadi kambing hitam moral.
Sistemik: Birokrasi, Premanisme, Makan Bergizi Gratis, dan Malaise Struktural