"Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang dibatalkan," demikian pepatah hukum yang seakan relevan setiap kali masyarakat mulai meragukan kinerja institusi kepolisian.
Dalam beberapa bulan terakhir, wacana pembentukan badan reformasi Polri kembali mencuat. Pemicunya adalah penanganan demonstrasi yang dianggap kurang profesional hingga menimbulkan kerusuhan dan korban.
Publik pun kembali bertanya: apakah reformasi Polri benar-benar bisa menjadi kenyataan, atau hanya fatamorgana yang sebentar muncul lalu hilang ditelan situasi?
Citra Polisi di Mata Publik
Menariknya, jika kita menengok data, citra polisi di mata masyarakat tidak selalu buruk.
Survei Litbang Kompas pada Oktober--November 2023 mencatat 87,8 persen responden menyatakan puas terhadap kinerja Polri. Aspek menjaga keamanan dan ketertiban umum mendapat apresiasi lebih dari 89 persen, sementara pelayanan pengaduan publik masih relatif rendah, sekitar 68,7 persen.
Survei Indikator Politik Indonesia bahkan menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap Polri sempat mencapai 76,4 persen pada Juni 2023. Angka itu naik signifikan setelah sebelumnya merosot akibat kasus Ferdy Sambo.
Data ini menunjukkan bahwa di balik kritik tajam, ada ruang optimisme terhadap institusi yang setiap hari bersentuhan dengan kehidupan masyarakat.
Namun, catatan lain menunjukkan bahwa dalam survei yang lebih komprehensif, kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum di Indonesia menurun. Sebuah riset oleh Mayangsari (2023) mengungkap bahwa tingkat kepercayaan terhadap Polri jatuh ke angka 54,2 persen, sehingga pada akhir 2022 Polri dikategorikan sebagai institusi penegak hukum yang paling rendah tingkat kepercayaan publiknya.
Luka Kolektif dan Sarkasme Publik