Keempat, adanya campur tangan politik. Tidak bisa dipungkiri, posisi strategis Polri sering bersinggungan dengan kepentingan kekuasaan. Hal ini berpotensi membelokkan arah reformasi menjadi sekadar retorika tanpa realisasi.
Tantangan-tantangan ini membuat publik kerap skeptis: apakah reformasi bisa benar-benar dijalankan, atau hanya berhenti sebagai slogan?
Belajar dari Praktik Negara Lain
Beberapa negara bisa menjadi cermin.
Di Jepang, penelitian menunjukkan adanya korelasi positif antara sistem community policing (kepolisian berbasis masyarakat) dengan tingkat kepercayaan publik terhadap polisi. Pemerintah Jepang juga mulai menguji penggunaan body-worn cameras sebagai alat transparansi: sejak 2024 polisi di beberapa prefektur sudah memakai kamera tubuh yang otomatis merekam saat petugas berinteraksi, dan hasil rekaman dikirim ke kantor pusat untuk pengawasan.
Di Inggris, konsep policing by consent menjadi landasan: kepolisian bekerja dari izin sosial publik, bukan dominasi pemaksaan. Namun survei global oleh Ipsos tahun 2023 justru menunjukkan bahwa hanya satu dari tiga warga Inggris (31 persen) yang percaya bahwa penegak hukum efektif dalam menekan kejahatan non-kekerasan.
Perbandingan ini memperlihatkan bahwa meskipun polisi di negara maju memiliki sistem pengawasan dan legitimasi lebih kuat, tantangan kepercayaan publik tetap nyata. Reformasi tidak otomatis menjamin kepercayaan, kecuali disertai budaya keterbukaan dan akuntabilitas.
Menjawab Harapan Publik
Indonesia tentu memiliki konteks yang berbeda, tetapi semangat serupa bisa diadopsi.
Reformasi Polri hanya akan menjadi nyata bila disertai keseriusan politik untuk memperkuat pengawasan, keberanian internal untuk menindak pelanggaran, serta keterlibatan masyarakat dalam mengawasi kinerja aparat.
Publik sendiri sebenarnya tidak menolak kehadiran polisi. Mereka menginginkan polisi yang melindungi, bukan memeras; yang hadir dengan solusi, bukan masalah baru.