Dalam lanskap global yang cepat berubah, pengangkatan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai anggota Dewan Penasehat Bloomberg New Economy bukan sekadar gelar kehormatan.Â
Ia adalah cermin pengakuan internasional---penghormatan atas rekam jejak kepemimpinan yang dianggap relevan untuk masalah ekonomi, infrastruktur, dan tata kelola modern.Â
Pengumuman pembentukan Dewan Penasehat ini dan daftar anggotanya dirilis oleh Bloomberg New Economy pada April 2025; Dewan baru itu beranggotakan puluhan tokoh global dari pemerintahan, bisnis, dan akademia.Â
Apa itu Bloomberg New Economy --- dan mengapa penting?
Bloomberg New Economy adalah inisiatif yang dirintis Michael Bloomberg untuk mengumpulkan pemimpin global --- pemerintahan, bisnis, dan penelitian --- guna membahas tantangan ekonomi dan kebijakan abad ke-21.Â
Melalui forum, kerja kelompok, dan jaringan yang kuat, platform ini berfungsi sebagai nexus penentu agenda bagi isu-isu seperti perdagangan, investasi infrastruktur, perubahan iklim, teknologi, dan kesehatan publik.Â
Kegiatan puncaknya, New Economy Forum, menjadi tempat bertemu pemangku kepentingan dari berbagai belahan dunia, termasuk pertemuan besar yang dijadwalkan kembali di Singapura.Â
Relevansi praktisnya: keputusan, gagasan, dan konsensus yang lahir dalam komunitas ini sering kali mempengaruhi aliran modal, prioritas investasi, dan kebijakan lintas negara --- bukan lewat kekuasaan formal, melainkan pengaruh jaringan, legitimasi, dan agenda-setting. Itu sebabnya posisi di Dewan Penasehat memiliki bobot yang melebihi sekadar "title" --- ia adalah akses ke ruang keputusan global.
Peran Jokowi sebagai Anggota Dewan Penasehat
Sebagai anggota Dewan Penasehat, fungsi Jokowi kemungkinan besar meliputi memberi perspektif strategis berbasis pengalaman pemerintahan: insight tentang pengelolaan infrastruktur besar, hubungan investasi asing-lokal, serta cara menyeimbangkan pembangunan cepat dengan stabilitas sosial-politik.Â
Secara konkret, peran semacam ini biasanya meminta kontribusi pada perumusan agenda forum, menjadi sounding board untuk inisiatif New Economy, serta mempertemukan aktor-aktor bisnis dan negara untuk proyek konkret.Â
Pernyataan resmi Bloomberg menyebut tujuan pembentukan dewan adalah memanfaatkan pengalaman dari level tertinggi pemerintahan, bisnis, dan organisasi multilateral untuk menghadapi tantangan global yang kompleks.Â
Untuk Indonesia, kehadiran Jokowi di meja ini membuka peluang: pengaruh diplomatik lunak (soft power) untuk mempromosikan proyek nasional, menarik perhatian investor, serta memperkuat posisi Indonesia dalam perdebatan tentang pembangunan berkelanjutan dan transformasi ekonomi digital.
Siapa saja yang duduk bersama --- gambaran kelas global
Dewan baru ini diisi oleh tokoh-tokoh internasional terkemuka: dari pendiri Bloomberg Michael Bloomberg, mantan PM dan bankir internasional seperti Mario Draghi, hingga pemimpin pemerintahan dan korporasi lain, serta akademisi papan atas.Â
Pengangkatan beberapa tokoh seperti Gina Raimondo (sebagai co-chair) menunjukkan profil dewan yang tinggi dan beragam. Total anggota yang diumumkan mencapai puluhan nama --- merepresentasikan campuran pengalaman pemerintahan, bisnis, dan riset.Â
Mengapa kita harus bangga --- dan mengapa ada sinisme?
Bagi sebagian warga negara, pengangkatan ini adalah kebanggaan: pengakuan internasional atas kepemimpinan Indonesia, bukti bahwa pengalaman memimpin negara dengan kompleksitas demografis dan infrastruktur besar mendapat tempat di panggung global. Ini juga memberi pesan kuat bahwa suara Indonesia relevan dalam diskusi ekonomi dunia.
Namun, tak bisa dipungkiri ada kelompok yang menanggapi sinis: alasan beragam---dari kecurigaan terhadap "rotasi elit" (revolving-door) antara jabatan publik dan posisi internasional yang prestisius, hingga kritik politik domestik terkait kebijakan masa lalu Jokowi.Â
Sinisme semacam ini wajar dalam demokrasi; pertanyaan kritisnya adalah: apakah peran tersebut membawa manfaat konkret bagi publik atau hanya simbol status? Kritik yang sehat harus dilayani dengan transparansi: agenda apa yang didorong, potensi konflik kepentingan, dan bagaimana hasilnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan nasional.
Seperti kata Simon Sinek, "Leadership is not about being in charge. It is about taking care of those in your charge." Jika peran internasional dijalankan untuk memperluas manfaat bagi bangsa---mengundang investasi produktif, pengetahuan teknis, dan kerja sama yang konkret---maka rasa bangga itu beralasan.Â
Jika tidak, gelar tak lebih dari seremonial. (Kutipan ini mengingatkan bahwa legitimasi internasional mesti diterjemahkan menjadi manfaat domestik yang nyata.)
Kewaspadaan dan harapan
Pengangkatan Jokowi ke Dewan Penasehat Bloomberg New Economy adalah momen penting: pengakuan personal dan kesempatan strategis bagi Indonesia.Â
Namun nilai sebenarnya bergantung pada bagaimana posisi itu dioperasikan---apakah menjadi jembatan untuk proyek yang berujung pada lapangan kerja, transfer teknologi, dan perbaikan kesejahteraan, atau hanya menjadi kredit moral di kancah internasional.
Kepada publik dan para pemangku kepentingan di tanah air, tugasnya adalah menuntut transparansi: laporan perjalanan, kepentingan apa yang dibangun, dan hasil konkret.Â
Dengan begitu, pengakuan global bisa terbalik menjadi keuntungan nasional---bukan sekadar kebanggaan simbolik, melainkan modal nyata untuk masa depan Indonesia.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI