Buku baru ini menyebut dekade Jokowi sebagai kebangkitan otoritarianisme. Isinya tajam, penulisnya mumpuni---tapi tanpa suara Jokowi, apakah gambarnya utuh atau justru timpang?
"Mata uang tanpa dua sisi nilainya setengah. Begitu juga kritik tanpa lawan bicara."
Di negeri ini, melabeli seorang presiden sebagai "otoritarian" kadang lebih mudah daripada melabeli rasa bakso. Tinggal pilih bumbunya: Orde Baru jilid dua, kemunduran demokrasi, atau kebangkitan kembali penguasa yang berkuasa terlalu lama. Itulah yang coba dihidangkan buku The Jokowi Presidency: Indonesia's Decade of Authoritarian Revival.
Buku ini diterbitkan oleh ISEAS--Yusof Ishak Institute dan diedit oleh dua akademisi Australian National University (ANU), Sana Jaffrey dan Eve Warburton. Penulisnya bukan orang sembarangan, antara lain: Marcus Mietzner, Rizal Sukma, Arianto A. Patunru, Faisal Basri, Nurina Merdikawati, Ridho Al Izzati, Asep Suryahadi, Suraya A. Afiff. Isinya membedah Jokowi dari berbagai sisi: politik, ekonomi, bantuan sosial, sampai hubungan luar negeri.
---
Isinya: Demokrasi Menurun, Otoritarianisme Naik
Buku ini tidak basa-basi. Pesannya jelas: demokrasi Indonesia di era Jokowi mengalami kemunduran serius. Ada bab yang menilai politik luar negeri seperti "mundur-maju", ada yang menyorot pembangunan ekonomi yang terlalu negara-sentris, hingga program bantuan sosial yang dianggap punya kepentingan politik.
Kesimpulan para penulis: dekade Jokowi adalah babak "kebangkitan otoritarianisme"---versi halus dari Orde Baru.
---
Satu Arah, Tanpa Klarifikasi Jokowi
Dari daftar penulisnya saja, kita bisa menduga: ini barisan pengkritik Jokowi. Wajar, sih---namanya buku akademik kritis. Tapi yang agak mengganjal, tidak ada satu pun wawancara atau komentar dari Jokowi. Tidak ada klarifikasi. Ibarat menggelar persidangan, tapi terdakwanya tidak pernah dihadirkan.
---
Menyamakan dengan Orde Baru, Kebangetan?
Orde Baru itu media dikontrol ketat, oposisi dibungkam, dan lawan politik dibersihkan lewat pengadilan. Jokowi? Kritik keras masih berseliweran di media dan medsos. Bahkan para penulis buku ini tetap bebas mengkritik dan menerbitkan bukunya.