Kita sedang menghadapi situasi di mana hukum dijalankan seperti permainan catur, bukan sebagai sistem nilai yang adil dan tegas. Ketika presiden dapat menghentikan proses hukum hanya dengan klaim "politik", ketika pakar hukum ikut menyetujui tindakan ini tanpa mengkritisi prosedurnya, dan ketika tokoh-tokoh yang seharusnya menjadi teladan integritas justru sibuk membela kolega politik, maka rakyat akan bertanya:
Untuk siapa hukum itu ditegakkan?
Kita tidak sedang anti terhadap rekonsiliasi politik. Tapi kita anti terhadap rekonsiliasi yang mengorbankan supremasi hukum, dan pengampunan tanpa kejujuran.
---
Akhir Kata: Filosofi, Harapan, dan Teguran
"The law is reason free from passion." -- Aristoteles
Tapi di negeri ini, tampaknya hukum justru dipenuhi oleh nafsu kekuasaan dan kompromi politik. Saat pemimpin tertinggi negara, didukung oleh pakar hukum, justru menumpulkan proses hukum demi alasan yang tidak transparan, maka kita perlu waspada: masa depan pemberantasan korupsi tidak lagi bergantung pada aturan, tapi pada selera penguasa.
Jika Mahfud MD saja sudah kehilangan kepekaan terhadap etika hukum, maka rakyat hanya bisa berharap pada satu hal: kesadaran kolektif bahwa demokrasi bukan soal menang atau kalah, tapi soal menjaga keadilan tetap hidup meski langit hendak runtuh.
---
Daftar Referensi dan Data Tambahan:
Pasal 14 UUD 1945 tentang Abolisi dan Amnesti