2. Tidak Ada Pengajuan Resmi Sampai artikel ini ditulis, belum ada dokumen resmi atau pernyataan dari Lembong maupun Hasto yang menyatakan bahwa mereka mengajukan permohonan abolisi atau amnesti. Artinya, keputusan Prabowo muncul begitu saja---top-down---bukan atas permintaan pribadi ataupun mekanisme hukum yang seharusnya dilalui.
3. Pengabaian Terhadap Proses Hukum Dengan mengintervensi jalannya hukum, Prabowo telah memberikan preseden berbahaya bahwa pengadilan bisa dikesampingkan jika kekuasaan menganggap proses itu "tidak adil" tanpa melalui uji formil.
---
Mahfud dan Dilema Etika Hukum
Mahfud MD bukan orang biasa. Ia adalah profesor hukum, mantan Ketua MK, dan pernah menjadi Menkopolhukam. Namun, posisinya juga tidak steril dari interseksi politik, terlebih karena dirinya adalah mantan cawapres dari PDIP yang kini menjadi partai tempat bernaung Hasto Kristiyanto. Maka ketika Mahfud menyatakan bahwa "pengadilan itu sarat politik", kita tidak bisa menutup mata bahwa pendapatnya pun tidak bisa sepenuhnya dikatakan netral.
Apakah Mahfud hendak mengatakan bahwa sistem hukum Indonesia begitu rusak, hingga seorang presiden harus turun tangan menyelamatkan para terdakwa yang kebetulan berasal dari partainya? Jika iya, pernyataan tersebut justru menjadi tamparan keras terhadap integritas sistem hukum yang selama ini ia bela, termasuk saat ia menjabat.
---
Benarkah Ini Demi Keadilan?
Prabowo menyebut dirinya ingin "membela keadilan". Tapi pertanyaan filosofis yang harus kita renungkan: keadilan untuk siapa? Jika keadilan hanya berlaku untuk elite politik yang kebetulan berada di lingkaran kekuasaan, maka kita tidak sedang berbicara soal negara hukum, tetapi negara patronase.
Publik tidak lupa bahwa Prabowo adalah lawan politik Lembong dan Hasto di masa lalu, dan kini malah memberikan pengampunan. Sebuah paradoks yang sulit dijelaskan, kecuali jika kita memahami bahwa politik rekonsiliasi dan kompromi elite kerap menihilkan hukum sebagai penyeimbang kekuasaan.
---
Apa Dampaknya bagi Penegakan Hukum?