"Negara tidak boleh menoleransi intoleransi. Karena ketika hukum tunduk pada tafsir sepihak dan tekanan massa, maka keadilan menjadi tumpul bagi korban dan tajam hanya untuk yang kuat."
---
Di tengah upaya membangun bangsa yang menjunjung tinggi keberagaman, Indonesia kembali diguncang oleh peristiwa intoleransi. Tepatnya di Kampung Baru, Desa Tenjojaya, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, sekelompok orang merusak sebuah rumah singgah umat Kristen yang kerap digunakan untuk beribadah.
Polres Sukabumi bergerak cepat: tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka. Masyarakat pun mengapresiasi langkah tegas ini sebagai sinyal bahwa negara tak lagi membiarkan intoleransi berlangsung tanpa konsekuensi.
Namun, harapan itu seketika runtuh ketika muncul kabar bahwa Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemenham) turun tangan memberikan jaminan agar para tersangka tidak ditahan.
Yang menyampaikan jaminan ini adalah Thomas Harming Suwarta, Staf Khusus Menteri HAM Natalius Pigai.
Alasannya? Karena menurut Kemenham, tidak ada niat jahat dari para pelaku, hanya terjadi "salah persepsi dan miskomunikasi".
---
Salah Persepsi Bukan Alasan untuk Kekerasan
Perlu diluruskan sejak awal: perusakan properti dan intimidasi terhadap kelompok agama adalah pelanggaran hukum, bukan kesalahan komunikasi yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Apa jadinya bila semua bentuk kekerasan dibenarkan hanya karena pelakunya "tidak tahu" atau "salah sangka"? Maka hukum akan menjadi sangat subjektif dan berbahaya---hanya berlaku bagi yang tidak bisa membela diri.