"Di zaman edan, masih waraskah kita?"
Pertanyaan yang dulu dilontarkan oleh Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha kini tampaknya tak lagi puitis, melainkan mendesak. Sebab belakangan ini, kita sedang menyaksikan pertunjukan absurd dalam panggung besar bernama demokrasi Indonesia. Dan sayangnya, media mainstream kini mulai ikut menyediakan tiket gratis dan karpet merah bagi irasionalitas yang justru seharusnya mereka kritisi.
Kasus ijazah Presiden Jokowi yang sudah berkali-kali terbukti keabsahannya kembali diungkit dengan narasi baru: bahwa dokumen tersebut dicetak di Pasar Pramuka. Tidak lagi menyasar ranah hukum, melainkan masuk ke wilayah dongeng. Seolah fakta bisa diubah hanya dengan imajinasi dan suara keras.
Yang lebih menyedihkan, narasi ini muncul dari seseorang yang disebut sebagai "tokoh PDIP". Ironi ini menjadi lebih dalam karena PDIP adalah partai tempat Presiden Jokowi pernah dibesarkan secara politik. Dan entah karena strategi diam atau kehilangan akal sehat kolektif, partai sebesar itu tidak secara eksplisit membantah atau menegur anggotanya.
Lebih menyedihkan lagi, media besar yang selama ini dianggap sebagai benteng informasi yang akurat dan berimbang, justru memberi panggung bagi narasi seperti ini. Bukan membongkar kebohongan, mereka malah memuatnya sebagai headline. Seolah lupa bahwa kebenaran bukanlah soal viral, tetapi soal integritas.
"Ketika kebohongan diulang-ulang dan diberi panggung, ia perlahan menjadi 'kebenaran baru' di kepala massa."
--- Hannah Arendt
Kita harus bertanya: apa yang sedang terjadi dengan media kita? Mengapa media yang seharusnya menjadi penjaga rasionalitas publik kini malah ikut menabuh genderang irasionalitas? Apakah karena pageviews lebih penting dari pencerahan? Atau karena jurnalisme kita telah berubah menjadi showbiz berita---yang penting sensasional, urusan logika dan verifikasi belakangan?
Demokrasi Tanpa Nalar
Media, partai politik, bahkan publik tampaknya mulai terbiasa dengan absurditas. Kita mulai tertawa saat kebohongan disebar, dan mulai curiga saat kebenaran dijelaskan. Inilah ketika demokrasi mulai kehilangan salah satu fondasinya: nalar publik.
Padahal demokrasi sejatinya bukan hanya soal suara terbanyak, tapi juga akal sehat terbanyak. Ketika mayoritas mulai lebih percaya rumor daripada riset, kita tahu ada sesuatu yang salah dalam ruang publik kita.