Dan ini bukan soal Jokowi semata. Ini tentang kita. Tentang bagaimana ruang diskusi kita, media kita, dan bahkan elite kita perlahan membuka jalan bagi kebisingan yang merusak, bukan suara yang mencerahkan.
PDIP dan Dilema Keheningan
Apa sebenarnya yang sedang terjadi di PDIP? Jika benar yang menyebar isu ijazah pasar Pramuka itu adalah salah satu tokoh internal, mengapa partai sebesar PDIP memilih diam?
Apakah karena ada friksi internal pasca Pilpres? Atau PDIP sendiri sedang bingung memilih antara warisan Jokowi dan arah baru pasca kekalahan?
Jika PDIP, yang selama ini mengusung nasionalisme dan rasionalitas sebagai identitas politiknya, membiarkan narasi seperti ini tumbuh di dalam tubuhnya, maka partai ini sedang membakar pondasi yang mereka bangun sendiri. Seperti kata pepatah Jawa, "Ojo dumeh, ojo nganti keblinger."
Saatnya Media Mengingat Tugasnya
Dahulu, media massa dipanggil sebagai pilar keempat demokrasi. Ia berfungsi sebagai penjaga kewarasan dan penyeimbang kekuasaan. Tapi hari ini, beberapa media justru menjadi katalis disinformasi, dengan dalih "menyediakan semua suara".
Tentu saja, dalam demokrasi semua orang berhak berbicara. Tapi media bukan sekadar pengeras suara. Ia punya tugas untuk menyaring, bukan sekadar menyebar. Kalau semua suara diwadahi tanpa sensor etis, maka media bukan lagi watchdog, melainkan noise amplifier.
"Media bukan cermin yang memantulkan segalanya, melainkan jendela yang memilih apa yang ditampilkan."
--- Bill Kovach & Tom Rosenstiel, The Elements of Journalism
Menolak Menyerah kepada Irasionalitas
Jangan salah. Ketika kita diam terhadap kebodohan publik yang diberi panggung, maka kita sedang memberi ruang untuk tumbuhnya otoritarianisme berbasis hoaks. Demokrasi yang membiarkan irasionalitas tumbuh tanpa kontrol akan menjadi demagogi.