Lantas, apakah kita harus menyerah?
Tidak. Justru saat inilah kita harus kembali memegang prinsip: bahwa rasionalitas bukan musuh dari kebebasan, tapi justru pelindungnya. Bahwa media yang berani menolak hoaks adalah media yang sejati. Bahwa partai yang berani menegur kader irasional adalah partai yang sehat. Dan bahwa publik yang menolak termakan isu bodoh adalah publik yang matang.
"Kebodohan adalah musuh yang lebih berbahaya daripada kejahatan."
--- Dietrich Bonhoeffer
Akhir Kata: Kita Masih Punya Harapan
Satu hal yang perlu diingat: Indonesia tidak kekurangan orang pintar, tapi sedang kekurangan keberanian untuk bersikap waras di tengah hiruk-pikuk kegilaan kolektif. Kita tidak boleh pasrah hanya karena suara keras lebih viral dari suara masuk akal.
Mari kembalikan rasionalitas ke ruang publik. Mulailah dari sikap sederhana: jangan sebar berita absurd, jangan beri panggung pada mereka yang menjual kebohongan, dan jangan diam saat nalar diinjak-injak demi klik dan kepentingan sesaat.
Demokrasi bukan panggung sandiwara. Ia adalah mimbar akal sehat. Dan kalau kita ingin tetap hidup di negeri yang waras, maka kita semua harus berani berkata: cukup sudah irasionalitas ini.
"Bukan karena kegelapan kita tidak bisa melihat, tapi karena kita menutup mata."
--- Jalaluddin Rumi
Artikel ini adalah ajakan untuk waras bersama. Untuk tidak menyerah pada kebodohan yang terorganisir. Karena jika kita menyerah, maka sejarah akan menulis bahwa kebenaran dikalahkan bukan oleh peluru, tapi oleh panggung dan tepuk tangan.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI