Dalam dunia yang sedang terus berubah, masa lalu seharusnya menjadi cermin, bukan alat kosmetik. Sejarah yang kita warisi bukan sekadar rentetan tanggal dan tokoh, melainkan warisan kolektif yang membentuk jati diri bangsa. Maka, ketika Fadli Zon, Menteri Kebudayaan , menyatakan bahwa penulisan ulang sejarah dilakukan oleh tim dan bukan oleh politisi, banyak pihak mempertanyakan: Benarkah sejarah bisa ditulis ulang tanpa aroma politik?
"Sejarah adalah suara hati nurani zaman, bukan suara mikrofon kekuasaan," --- Pramoedya Ananta Toer.
Mengapa Masyarakat Resah?
Pernyataan Fadli Zon muncul sebagai respons atas kritik tajam terhadap upaya penulisan ulang sejarah Indonesia yang sedang dilakukan Menteri Kebudayaan. Fadli menegaskan, tim penulis sejarah terdiri dari akademisi, sejarawan, dan bukan dari politisi. Namun, publik tetap waswas. Bukan karena menolak inisiatif koreksi sejarah, melainkan karena sejarah terlalu mahal jika dijadikan alat kekuasaan.
Sejarah tidak lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh dari konflik, darah, air mata, dan perjuangan banyak pihak, termasuk para aktivis dan bahkan lawan politik yang hari ini mungkin tidak memiliki tempat dalam struktur kekuasaan. Maka ketika proses penulisan ulang sejarah cenderung dikerjakan oleh satu lembaga negara, pertanyaan yang muncul adalah: di mana ruang keterlibatan publik, aktivis, dan kelompok-kelompok marginal yang juga bagian dari sejarah itu sendiri?
Sejarah bukan sekadar milik para pemenang. Ia juga milik yang kalah, yang dibungkam, yang dilupakan.
Antara Niat dan Nalar Publik
Fadli Zon memang bukan sejarawan sembarangan. Ia dikenal sebagai kolektor dokumen sejarah dan pendiri Perpustakaan Fadli Zon. Namun, dalam kapasitas politiknya sekarang, pembelaannya terhadap proses ini justru memperkuat kesan bahwa ada ruang gelap dalam agenda tersebut. Publik tidak menuduh tim penulis tidak kompeten, tetapi menyoroti kurangnya keterbukaan, partisipasi, dan kemungkinan intervensi kuasa.
Di sinilah Fadli Zon, sebagai seorang politisi dan akademisi sekaligus, seharusnya mampu memahami letak persoalan. Kritik terhadap penulisan ulang sejarah bukanlah serangan pribadi, melainkan bentuk kontrol publik agar sejarah tidak menjadi alat legitimasi kekuasaan.
"Siapa yang mengontrol masa lalu, mengontrol masa depan. Siapa yang mengontrol masa kini, mengontrol masa lalu." --- George Orwell.
Sejarah Adalah Milik Bersama
Sejarah Indonesia tidak hanya dibentuk oleh para tokoh negara, tetapi juga oleh mereka yang melawan arus. Dari pejuang hak buruh, aktivis 1966 dan 1998, korban pelanggaran HAM, hingga para tokoh adat yang tak tercatat dalam buku pelajaran. Mereka semua memiliki hak untuk diakui sebagai bagian dari sejarah bangsa.
Maka, proses penulisan ulang sejarah idealnya dilakukan secara partisipatif, terbuka, dan lintas pandangan. Ada forum publik, diskusi akademik, keterlibatan organisasi masyarakat sipil, dan tentu saja jaminan bahwa tidak ada bab sejarah yang disensor atau didegradasi demi kenyamanan politik penguasa.
Sejarah bukan milik Menteri Kebudayaan, bukan milik Fadli Zon, bukan milik pemerintah, tetapi milik rakyat Indonesia.
Solusi: Transparansi dan Partisipasi
Jika Fadli Zon ingin meredakan kecurigaan publik, langkah yang paling bijak bukan sekadar klarifikasi bahwa ia tidak terlibat langsung, tetapi justru mengajak dialog terbuka. Berikut langkah konkret yang bisa diambil:
- Publikasikan metodologi dan kerangka kerja penulisan ulang sejarah secara terbuka.
- Undang akademisi independen, organisasi korban, aktivis, dan masyarakat sipil untuk memberi masukan.
- Jamin tidak ada sensor terhadap bab sejarah yang menyakitkan, seperti peristiwa 1965, Petrus, Talangsari, atau reformasi 1998.
- Libatkan generasi muda dalam menyumbangkan perspektif dan narasi alternatif.
Dengan langkah ini, sejarah yang ditulis akan lebih legitimate karena lahir dari keterlibatan banyak pihak. Seperti kata filsuf Karl Jaspers, "Sejarah tidak hanya untuk diketahui, tetapi untuk dimiliki secara batin."
Jangan Ulangi Kesalahan Masa Lalu
Kita belajar dari Orde Baru bahwa sejarah bisa menjadi alat cuci otak yang mematikan. Generasi muda selama puluhan tahun hanya tahu satu versi sejarah---versi yang menyingkirkan tokoh-tokoh yang dianggap mengganggu narasi kekuasaan. Jika hari ini sejarah kembali direvisi dalam ruang tertutup, tanpa refleksi dan partisipasi luas, maka sejarah bukan ditulis ulang---tapi sedang dihapus ulang.
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak takut pada sejarahnya sendiri." --- Bung Karno.
Fadli Zon, sebagai tokoh nasional, punya tanggung jawab moral dan intelektual lebih besar dari sekadar membela tim penulis sejarah. Ia harus menjadi jembatan, bukan benteng; fasilitator, bukan pembungkam. Karena sejarah sejatinya bukan untuk dimiliki, tapi untuk dihidupi---oleh seluruh anak bangsa.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI