"Sejarah adalah suara yang tak dapat dibungkam dari masa lalu. Mereka yang memilih menutup telinga atas penderitaan, sedang menulis naskah pengingkaran."--- Pramoedya Ananta Toer
Indonesia kembali diguncang bukan oleh gempa, tetapi oleh gelombang pengingkaran terhadap luka sejarah. Kali ini datang dari pernyataan Fadli Zon, politisi senior yang kini menjabat Menteri Kebudayaan dan menjadi figur sentral dalam revisi penulisan sejarah nasional. Dalam sebuah wawancara publik, Fadli menyatakan bahwa tidak pernah ada bukti atas pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998.
"Kalau itu menjadi domain kepada isi dari sejarawan. Apa yang terjadi? Kita gak pernah tahu, ada gak fakta keras kalau itu kita bisa berdebat. Nah, ada perkosaan massal. Betul gak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu gak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada gak di dalam buku sejarah itu? Gak pernah ada," ucap Fadli.
Ucapan ini sontak menuai kritik keras. Bukan saja karena dianggap melukai kembali hati para korban, tetapi juga karena keluar dari mulut seorang pejabat yang memegang kuasa atas arah kebijakan sejarah Indonesia ke depan.
Mei 1998: Luka yang Masih Membara
Peristiwa Mei 1998 bukan hanya cerita tentang runtuhnya rezim Orde Baru. Ia adalah mozaik penderitaan: kehancuran ekonomi, kerusuhan sosial, dan salah satu kejahatan kemanusiaan terbesar yang tak pernah diadili---pemerkosaan sistematis terhadap perempuan etnis Tionghoa.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada tahun 1998 telah mengidentifikasi dugaan kuat adanya kekerasan seksual massal. Setidaknya 66 kasus dipastikan terjadi, meski jumlah korban diperkirakan jauh lebih besar. Sebagian besar korban memilih diam karena rasa malu, trauma, dan ketakutan. Negara gagal memberikan rasa aman agar mereka bisa bersuara.
Komnas Perempuan, Amnesty International, dan Human Rights Watch turut menguatkan laporan tersebut. Meski belum pernah ada persidangan formal yang menuntaskan kasus ini, bukan berarti tidak ada bukti. Yang terjadi justru adalah ketidaksanggupan sistem hukum untuk menjemput kebenaran.
Kisah Ita Martadinata: Suara yang Dibungkam, Luka yang Tak Diakui
Di antara sekian banyak kisah korban, satu nama menjadi simbol bagaimana negara tidak hanya gagal melindungi korban, tetapi juga membiarkan ketidakadilan membungkam kebenaran: Ita Martadinata Haryono.