Ita adalah seorang gadis Tionghoa berusia 18 tahun yang aktif mendampingi korban pemerkosaan Mei 1998. Bersama Komnas Perempuan dan organisasi HAM lainnya, Ita bersuara lantang agar negara mengakui dan menyelidiki tragedi itu.
Namun, pada 9 Oktober 1998, Ita ditemukan tewas di rumahnya, dengan luka tusukan di bagian dada dan punggung. Kematian Ita disebut sebagai pembunuhan oleh "pencuri biasa", tapi banyak pihak meragukan versi resmi ini. Waktunya terlalu bertepatan: Ita dijadwalkan berangkat ke Amerika Serikat keesokan harinya untuk menjadi saksi di forum PBB tentang kekerasan seksual di Indonesia.
Banyak aktivis HAM percaya bahwa Ita dibunuh karena keberaniannya menyuarakan kebenaran. Kasusnya hingga kini tidak pernah diusut tuntas. Maka, ketika seseorang hari ini berkata bahwa tidak ada "proof" tentang pemerkosaan massal, mungkin mereka lupa---bukti itu pernah bernapas dan bernama Ita.
"Tone Positif" atau Penulisan Sejarah Berbasis Pengingkaran?
Konsep tone positif dalam penulisan sejarah yang diusung Fadli Zon, tampaknya tidak hanya mengabaikan tragedi, tetapi juga bisa menjadi alat untuk membungkamnya. Jika sejarah hanya ingin ditulis dengan narasi indah, maka kita sedang menciptakan utopia palsu, bukan kebenaran.
Sejarah tidak selalu tentang kemenangan. Sejarah adalah tentang kebenaran, dan kebenaran kadang kelam. Tapi justru dari pengakuan atas kelamnya masa lalu, bangsa bisa tumbuh menjadi lebih adil dan dewasa.
Korban: Bukan Angka, Tapi Manusia
Seorang korban kekerasan seksual Mei 1998 pernah mengatakan kepada Komnas Perempuan:
"Saya tidak meminta negara menebus penderitaan saya. Saya hanya ingin diakui bahwa saya pernah ada, bahwa apa yang saya alami bukan halusinasi."
Mereka bukan angka dalam laporan. Mereka adalah manusia. Mereka adalah Ita, dan puluhan perempuan lain yang hingga kini tidak pernah mendapatkan keadilan. Ketika negara memilih diam, dan kini bahkan menyanggah, maka bangsa ini sedang melukai dua kali: saat kejadian, dan saat pengingkaran.
Mengapa Pernyataan Fadli Zon Berbahaya