Sejarah Adalah Milik Bersama
Sejarah Indonesia tidak hanya dibentuk oleh para tokoh negara, tetapi juga oleh mereka yang melawan arus. Dari pejuang hak buruh, aktivis 1966 dan 1998, korban pelanggaran HAM, hingga para tokoh adat yang tak tercatat dalam buku pelajaran. Mereka semua memiliki hak untuk diakui sebagai bagian dari sejarah bangsa.
Maka, proses penulisan ulang sejarah idealnya dilakukan secara partisipatif, terbuka, dan lintas pandangan. Ada forum publik, diskusi akademik, keterlibatan organisasi masyarakat sipil, dan tentu saja jaminan bahwa tidak ada bab sejarah yang disensor atau didegradasi demi kenyamanan politik penguasa.
Sejarah bukan milik Menteri Kebudayaan, bukan milik Fadli Zon, bukan milik pemerintah, tetapi milik rakyat Indonesia.
Solusi: Transparansi dan Partisipasi
Jika Fadli Zon ingin meredakan kecurigaan publik, langkah yang paling bijak bukan sekadar klarifikasi bahwa ia tidak terlibat langsung, tetapi justru mengajak dialog terbuka. Berikut langkah konkret yang bisa diambil:
- Publikasikan metodologi dan kerangka kerja penulisan ulang sejarah secara terbuka.
- Undang akademisi independen, organisasi korban, aktivis, dan masyarakat sipil untuk memberi masukan.
- Jamin tidak ada sensor terhadap bab sejarah yang menyakitkan, seperti peristiwa 1965, Petrus, Talangsari, atau reformasi 1998.
- Libatkan generasi muda dalam menyumbangkan perspektif dan narasi alternatif.
Dengan langkah ini, sejarah yang ditulis akan lebih legitimate karena lahir dari keterlibatan banyak pihak. Seperti kata filsuf Karl Jaspers, "Sejarah tidak hanya untuk diketahui, tetapi untuk dimiliki secara batin."
Jangan Ulangi Kesalahan Masa Lalu
Kita belajar dari Orde Baru bahwa sejarah bisa menjadi alat cuci otak yang mematikan. Generasi muda selama puluhan tahun hanya tahu satu versi sejarah---versi yang menyingkirkan tokoh-tokoh yang dianggap mengganggu narasi kekuasaan. Jika hari ini sejarah kembali direvisi dalam ruang tertutup, tanpa refleksi dan partisipasi luas, maka sejarah bukan ditulis ulang---tapi sedang dihapus ulang.
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak takut pada sejarahnya sendiri." --- Bung Karno.
Fadli Zon, sebagai tokoh nasional, punya tanggung jawab moral dan intelektual lebih besar dari sekadar membela tim penulis sejarah. Ia harus menjadi jembatan, bukan benteng; fasilitator, bukan pembungkam. Karena sejarah sejatinya bukan untuk dimiliki, tapi untuk dihidupi---oleh seluruh anak bangsa.***MG