Polemik tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, kembali memicu kegaduhan politik. Bukan hanya soal lingkungan dan izin tambang, tetapi personalisasi---mengaitkan nama kapal dengan keluarga mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan istri, Ibu Iriana. Kapal tugboat "TB JKW Mahakam" dan tongkang "Dewi Iriana" viral di media sosial, dibingkai sebagai alat Jokowi dan keluarga yang masih 'bermain' di bisnis tambang.
Fakta: Kapal Itu Bukan Milik Jokowi
Kompas dan laporan independen mengungkap data Kemenhub bahwa kapal-kapal bernomor JKW Mahakam (1,2,3,5,6,7,8,10) serta Dewi Iriana (1,2,3,5,6,8) tidak dimiliki oleh Jokowi, Iriana, atau keluarga mereka  . Kepemilikan berada di tangan perusahaan-perusahaan:
PT Pelita Samudera Sreeya (PSS) -- anak usaha PT IMC Pelita Logistik Tbk (PSSI) menguasai banyak kapal JKW dan Dewi Iriana  .
PT IMC Pelita Logistik Tbk (PSSI) sebagai perusahaan induk, terdaftar di BEI kode PSSI, fokus di pelayaran tambang  .
PT Indoprima Marine -- saham mayoritas PSSI 43,83%, dikuasai oleh PT Himpunan Primajaya  .
Dua pemegang utama: Constant Marino Ponggawa dan Al Hakim Hanafiah, pendiri firma hukum, bukan keluarga Jokowi  .
Selain itu, JKW dan Dewi Iriana juga dimiliki oleh PT Permata Lintas Abadi, PT Sinar Pasifik Lestari, dan PT Glory Ocean Lines  .
Di samping itu, belum ada bukti bahwa kapal yang viral benar-benar mengangkut nikel dari Papua. Kompas pun mencatat belum terbukti kapal tersebut terlibat dalam pengangkutan bijih nikel  .
---
Mengapa Fitnah dan Hoaks Ini Terus Muncul?
1. Akar Personal vs Politik: Nama kapal yang menyerupai inisial Jokowi ("JKW") dan nama Ibu Negara menciptakan asumsi kuat. Dalam dunia politik digital, cukup "cocoklogi" untuk membentuk narasi negatif---disebut adab "akibat spekulasi di era informasi"
2. Kekhawatiran terhadap pengaruh Jokowi: Meskipun bukan lagi presiden, figur Jokowi masih menjadi salah satu aktor politik yang kuat. Lobi global, relasi internasional, dan elektabilitasnya dinilai bisa menganggu poros kekuasaan atau otoritas baru. Karakter popularitas itu sendiri bisa memicu serangan berkelanjutan.
3. Budaya Hoaks & Politisasi Media Sosial: Menurut Onora O'Neill, "Trust is like a paper, once crumpled, it can't be perfect again." Kepercayaan publik terhadap tokoh politik mudah rusak, selanjutnya narasi hoaks bisa dengan cepat diturunkan citra tanpa perlu bukti kuat.
4. Agenda lingkungan dan pertambangan: Sorotan atas izin tambang nikel di pulau kecil dengan status konservasi (Pulau Gag) memicu emosi publik. Menyasar figur publik yang dikenal karena legitimasi politik kuat menjadi salah satu cara untuk mengekang arus kritik tersebut.
---
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
1. Kritisi Informasi, Bukan Tokoh: Pisahkan narasi kapal yang viral dan fakta kepemilikan. Cek database resmi (Ditkapel, BEI, vessel tracking) sebelum ikut menyebar.
2. Diseminasi Data yang Tegas: Media dan publik cerdas perlu terus menyalurkan klarifikasi seperti milik Kompas dan Bisnis.com.
3. Tingkatkan Literasi Digital: Ajarkan masyarakat memverifikasi klaim viral dan jangan cepat turuti narasi berdasarkan nama saja.
4. Pertahankan Perspektif Filosofis: Mengutip Aristoteles, "It is the mark of an educated mind to be able to entertain a thought without accepting it." Kita harus bisa menguji informasi sebelum menerima.
---
Akhir KataÂ
Polemik baru soal kapal "JKW Mahakam" dan "Dewi Iriana" yang viral di media sosial bukan karena fakta, tetapi karena analogi nama yang mengundang spekulasi personal. Data resmi dari Kompas dan Bisnis.com jelas: kapal tersebut dimiliki perusahaan logistik publik, bukan Jokowi ataupun keluarganya, dan belum terbukti mengangkut nikel Papua  .
Disinformasi yang menyasar figur politik populer seperti Jokowi bukan kebetulan---itu cerminan kekhawatiran terhadap pengaruhnya, sekaligus praktik politisasi dalam era media sosial. Sebagai rakyat digital, kita punya tanggung jawab untuk mengambil sikap kritis: jangan cepat menyimpulkan, rajin verifikasi, dan tegakkan budaya informasi sehat.
---
Dengan memahami fakta secara sistematis dan kritis, kita dapat membentengi diri dari hoaks. Sebuah bangsa maju bukan dibangun dengan fitnah, tetapi dengan integritas---di mana data berbicara dan toleransi mendasari dialog.***MG
---
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI