"Ketika angin berubah arah, alih-alih membangun tembok, orang bijak membangun kincir angin." --- Pepatah Cina
Presiden Joko Widodo telah menuntaskan masa baktinya. Kini, tampuk kekuasaan telah berpindah ke pundak Prabowo Subianto. Namun, di ruang publik, terutama media sosial dan sebagian ruang redaksi, relasi antara keduanya masih terus digali, dibahas, bahkan dipolitisasi. Pertanyaannya, apakah ini masih relevan?
Menghubung-hubungkan Prabowo dan Jokowi secara berlebihan kini bukan hanya tidak produktif, tetapi juga berisiko mengaburkan fokus utama bangsa dalam menghadapi tantangan nyata---baik secara domestik maupun global.
Dari Rival Menjadi Mitra: Sejarah yang Sudah Terjawab
Banyak narasi yang lahir dari sejarah rivalitas keduanya dalam dua kontestasi Pilpres---2014 dan 2019. Di sanalah konflik simbolik antara nasionalis-pragmatisme (Jokowi) dan nasionalis-konservatif (Prabowo) diciptakan dan didramatisasi. Namun sejak rekonsiliasi politik pasca-2019, saat Prabowo menerima jabatan Menteri Pertahanan di kabinet Jokowi, semua spekulasi soal ketegangan seharusnya selesai.
Dan kini, setelah Prabowo terpilih sebagai Presiden RI ke-8 dalam Pemilu 2024, amanah rakyat sudah bulat: Prabowo adalah pemimpin baru. Ia bukan perpanjangan tangan, bukan "bayangan" Jokowi. Ia adalah presiden penuh, dengan hak konstitusional dan beban sejarah sendiri.
Mengadu Domba: Politik yang Usang
Sayangnya, masih ada yang mencoba mengadu domba keduanya. Motifnya beragam---dari politik kekuasaan, kepentingan kelompok tertentu, hingga strategi disinformasi di era pasca-kebenaran. Narasi seperti "Prabowo hanya meneruskan Jokowi" atau "Prabowo harus berlawanan dengan Jokowi" adalah jebakan politik hitam yang mengabaikan kompleksitas transisi demokrasi yang sehat.
Yang lebih penting dari itu semua: rakyat tidak butuh drama elite. Rakyat butuh solusi konkret atas masalah ekonomi, pangan, energi, dan geopolitik yang kian mendesak.
Fokus Bangsa: Dari Dalam ke Luar