Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Mantra dan Jampi Para Pembenci Jokowi

16 Mei 2025   14:48 Diperbarui: 16 Mei 2025   15:31 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengantar: Dalam setiap pemerintahan, kritik adalah vitamin demokrasi. Namun, kritik tanpa dasar, fitnah berulang, dan tuduhan yang tak kunjung selesai justru menjadi racun bagi akal sehat. Presiden Jokowi bukanlah pemimpin tanpa cela, tapi juga bukan monster seperti yang dibayangkan sebagian kelompok yang menjadikannya target kebencian abadi.

Mereka punya satu senjata ampuh: mantra. Bukan sembarang mantra, tapi kumpulan kalimat sakti yang diulang tanpa peduli logika. Diucapkan pagi, siang, dan malam, dengan keyakinan bahwa rakyat akan tersihir oleh kebohongan yang diulang-ulang.

Puisi ini adalah satir. Bukan untuk membela buta, tapi untuk mengajak kita semua kembali waras. Biar kritik tetap hidup, tapi logika jangan ikut mati.


---

Mantra dan Jampi Para Pembenci Jokowi

(Puisi Satir untuk yang Tak Pernah Lelah Membenci)

Setiap pagi sebelum sarapan,
mereka rapalkan: "Jokowi antek asing dan aseng!"
Walau pabrik makin banyak berdiri,
dan buruh lokal tetap yang antre.

Di siang bolong sambil ngopi pahit,
dilagukan mantranya: "Dia cuma boneka Megawati!"
Tapi tiap keputusan bikin partainya pusing,
sampai oposisi pun ikut bingung.

Menjelang magrib, dengan nada sendu,
dikumandangkan: "Janji tinggal janji, jalan tol buat siapa?"
Lalu mengumpat di jalan tol baru,
yang mereka pakai tiap hari juga.

Malam hari di medsos sepi,
mereka menulis: "Dia pura-pura sederhana, itu pencitraan!"
Tapi dompetnya tetap tipis,
tak sekaya yang mereka bayangkan.

Lalu dibisikkan mantra baru:
"Ijazahnya palsu! Dia tak pernah kuliah!"
Padahal kampusnya sudah bersuara,
tapi mereka lebih percaya grup WA keluarga.

"Dia keturunan Tionghoa, bukan asli Jawa!"
teriak yang tak pernah baca sejarah.
Lalu bingung sendiri saat tahu,
bahwa darah Solo dan logatnya itu terlalu ndeso untuk disebut palsu.

Kemudian datang mantra paling sakral:
"Dia melanggar konstitusi! Mengatur Mahkamah demi ambisi!"
Padahal yang diangkat lembaga negara,
dan yang disidang bukan dia.
Tapi tak masalah, asal cocokkan narasi,
tak peduli beda lembaga atau fungsi.

Jika ada yang membela sedikit,
langsung diteriaki: "BuzzerRP! Dibayar berapa, bro?"
Padahal cuma rakyat biasa,
yang lelah lihat logika ditekuk fakta.

Mereka marah saat dikritik kasar,
tapi menghina Jokowi katanya biasa.
"Namanya juga demokrasi,"
tapi demokrasi versi mereka saja.

Dan mantra terakhir sebelum tidur:
"Dia gagal! Negara mau bubar!"
Tapi tiap pagi, negara tetap bangun,
lebih kuat---meski mereka tak mau akui.

---

Epilog:
Kadang benci itu seperti jampi,
diulang-ulang walau kenyataan tak sepakat.
Mereka lebih percaya hoaks dari grup sebelah,
daripada data dari lembaga sah.

Melanggar konstitusi katanya serius,
tapi narasinya selalu copy-paste dan klise.
Logika dilawan dengan dugaan,
dengan harapan rakyat ikut larut dalam kemarahan.

Tapi tenang saja, mantra itu tak sakti,
selama rakyat masih pakai logika, bukan ilusi.

---

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun