Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Vasektomi Jadi Syarat Bansos: Kebijakan Dedi Mulyadi yang Menampar Logika dan Nurani

2 Mei 2025   05:56 Diperbarui: 2 Mei 2025   05:56 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dedi Mulyadi Gubernur Jabar (Media Indonesia)

Dedi Mulyadi kembali mengguncang publik. Kali ini bukan dengan sindiran jenaka atau gaya nyentriknya, melainkan kebijakan yang secara terang-terangan mengaitkan bantuan sosial (bansos) dengan syarat vasektomi bagi pria miskin. Ia menyebutnya sebagai solusi jitu mengatasi kemiskinan struktural akibat ledakan populasi.

Ironisnya, kebijakan ini justru membuka pertanyaan besar: benarkah ini solusi? Atau justru bentuk penindasan halus yang membungkus ketimpangan dengan dalih moralitas?

Dalam program yang ia jalankan di beberapa daerah, pria yang akrab disapa KDM ini menawarkan uang tunai tambahan sebesar Rp500 ribu bagi para penerima bansos yang bersedia menjalani vasektomi. Argumennya sederhana---dan justru berbahaya: "Kalau sudah miskin, jangan banyak anak."

Narasi seperti ini sekilas terdengar logis. Namun jika ditelaah lebih dalam, inilah bentuk baru dari kebijakan yang menampar logika kemanusiaan dan merendahkan martabat kaum miskin.

Antara Kemiskinan dan Hak atas Tubuh

Vasektomi adalah tindakan medis permanen. Dalam banyak negara, termasuk Indonesia, ia hanya bisa dilakukan atas dasar kesadaran penuh, sukarela, dan melalui proses konseling yang matang. Namun ketika kebutuhan dasar seperti bansos dipertukarkan dengan hak atas tubuh, maka sukarela menjadi semu. Ini bukan lagi kebijakan, ini jebakan.

"Ini bentuk pemaksaan terselubung. Orang yang lapar tak bisa berpikir merdeka. Mereka dipaksa memilih antara bantuan atau haknya atas tubuh," kata Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, dalam pernyataan tertulis.

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sama-sama menegaskan bahwa setiap tindakan medis harus dilakukan atas dasar informed consent. Tanpa tekanan. Tanpa iming-iming.

BKKBN: Ini Bukan KB, Ini Pemaksaan!

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) angkat suara tegas. Deputi Keluarga Berencana, dr. Eni Gustina, menyebut pendekatan KDM sebagai pelanggaran terhadap prinsip dasar program KB.

"KB adalah pilihan sadar dan sukarela. Tidak boleh dikaitkan dengan bansos atau insentif. Ini bukan edukasi, ini manipulasi," ujarnya dalam konferensi pers pekan lalu.

BKKBN mencatat, dari sekitar 34 juta peserta aktif KB per 2024, hanya 0,3% pria yang memilih metode vasektomi. Rendahnya angka ini bukan karena masyarakat tak tahu, tetapi karena persoalan budaya, maskulinitas, dan ketidakpastian hidup. Menjadikan vasektomi sebagai syarat bansos bukan hanya sembrono, tapi juga tidak memahami akar persoalan.

Miskin Dihukum, Kaya Dibiarkan?

Inilah pertanyaan yang menggelitik: mengapa hanya orang miskin yang 'dihukum' karena memiliki anak banyak? Mengapa narasi "tanggung jawab" hanya diarahkan pada mereka yang paling lemah dalam struktur sosial?

Padahal, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kemiskinan tidak semata soal jumlah anak, tapi lebih pada akses pendidikan, pekerjaan, dan layanan publik yang timpang. Dengan kata lain, anak bukan penyebab kemiskinan---negara yang gagal hadir, itulah biang keladinya.

"Kebijakan seperti ini membuat orang miskin seolah menjadi beban negara, padahal merekalah yang paling sering dikorbankan. Ini cara pikir kelas atas yang arogan," ujar Dinna Wisnu, pengamat kebijakan publik.

Solusi Kilat untuk Masalah Menahun

Langkah KDM dinilai terlalu simplistik. Ia memilih jalur cepat dan keras---memotong akar tanpa melihat pohonnya. Kebijakan publik tak bisa hanya viral di TikTok dan terasa "tegas" di kamera. Ia harus dijalankan dengan pertimbangan etik, hukum, dan dampak jangka panjang.

Jika tujuan KDM adalah pengendalian penduduk, maka edukasi seksual dan peningkatan akses alat kontrasepsi jauh lebih manusiawi dan berdampak. Jika tujuan utamanya adalah menekan angka kemiskinan, maka penyediaan lapangan kerja, jaminan sosial, dan pendidikan jauh lebih logis.

Refleksi: Negara Tak Berhak Memilihkan Masa Depan Rahim dan Alat Reproduksi Warganya

Sebuah negara demokratis tak boleh memaksa siapa pun untuk berhenti punya anak demi mendapat makan. Kebijakan semacam ini berbahaya karena membuka celah normalisasi kontrol tubuh atas nama moralitas dan efisiensi anggaran. Hari ini mungkin pria miskin yang dipaksa vasektomi. Besok bisa saja perempuan dipaksa suntik KB sebelum menikah.

KDM barangkali merasa sudah berbuat baik. Namun niat baik tak menghapus akibat buruk. Dan dalam kebijakan publik, akibat jauh lebih penting ketimbang niat.

Kita boleh sepakat bahwa Indonesia tak bisa terus-menerus mengabaikan problem kependudukan dan kemiskinan. Tapi kita juga harus tegas menolak pendekatan yang merendahkan martabat manusia. Memutus kemiskinan bukan dengan memutus jalur keturunan secara paksa, tapi dengan membuka jalan hidup yang lebih layak bagi setiap anak yang lahir.

Dan itu, sayangnya, tidak bisa selesai dengan vasektomi dan Rp500 ribu.***MG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun