Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anda Mau Kembali ke Zaman Orde Baru?

4 Maret 2019   16:54 Diperbarui: 4 Maret 2019   19:12 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertanyaan ini terutama ditujukan kepada mereka yang pernah mengalami jaman Orde Baru. Artinya mereka yang saat ini sudah tua atau paruh baya dan sudah punya anak cucu. 

Dengan pernah mengalami situasi saat itu, diharapkan dapat lebih obyektif menilai dan memilih apakah benar sudi untuk kembali kepada jaman Soeharto.

Penulis sendiri adalah bagian dari generasi tersebut, sehingga dapat sedikit bercerita berdasarkan apa yang sungguh dialami.

Pengalaman Masa Kecil

Masa kecil di sebuah kampung di pelosok Kalimantan sebenarnya tidak terlalu terkena dampak politik saat itu. 

Hanya saja penulis sering heran setiap ada Pemilu rasanya selalu mencekam. Kehadiran satu pasukan serdadu bersenjata lengkap di kampung yang relatif aman membuat anak kecil seperti kami ketakutan.

Entah apa yang mereka jaga. Sekali waktu saya mendengar perintah sang komandan,"Setiap tempat pemungutan suara harus ada yang jaga, kalau ada orang yang kita deteksi akan mencoblos selain Golkar, dekati dia dan pasang muka seramnya." Saat mendengar itu, penulis kira komandan sedang bercanda.

Penulis kenal beberapa keluarga yang secara menyolok memasang gambar partai selain Golkar di dinding rumah mereka. Setiap menjelang Pemilu, penulis saksikan seolah mereka dikucilkan. Pada waktu itu penulis tak tahu entah mengapa.

Sejauh penulis ingat, setiap pemilu, yang waktu itu memang sudah dikatakan sebagai pesta demokrasi, lagu Pemilihan Umum berkumandang di radio setiap hari. Kita sebagai anak - anakpun sering menyanyikan nya. Lagu itu memang lagu yang wajib di hafal.

Pemilihan umum telah memanggil kita
S’luruh rakyat menyambut gembira
Hak demokrasi Pancasila
Hikmah Indonesia merdeka

Pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya
Pengemban Ampera yang setia
Di bawah Undang-Undang Dasar 45
Kita menuju ke pemilihan umum

Penulis suka menyanyikan lagu ini karena nadanya memang penuh semangat. Arti syairnya belum terlalu dimengerti saat itu, hanya saja penulis tahu bahwa di setiap pemilu, Golkar pasti menang dan Soeharto pasti kembali lagi menjadi Presiden. Yang berganti hanyalah wakilnya.

Masuk Dalam Dunia Pergerakan

Sewaktu SMA sebenarnya kesadaran berpolitik sudah ada, namun rasanya tidak ada yang yang patut dikhawatirkan. Semua terasa sama, karena Presiden nya tetap serupa. 

Memang lagu - lagu protes dari Iwan Fals digemari dan menjadi koleksi pribadi. Hanya saja kayaknya masih sekedar nge-trend, supaya tidak dikatakan ketinggalan jaman.

Singgungan nyata pada situasi Politik saat itu, adalah pada saat penulis mulai bekerja. Itupun sebenarnya tidak sengaja. Wilayah kerja penulis, saat itu menjadi lahan pelaksanaan program pertama perkebunan besar kelapa sawit di Kalimantan. 

Kebetulan waktu itu tanah adat milik keluarga turut jadi lahan yang dijadikan sasaran. Melihat cara perusahaan menduduki lahan dengan sewenang - wenang, api perlawanan mulai berkobar. Betapa tidak kebun karet, tembawang atau hutan buah - buahan milik kami turun temurun dan bahkan lahan kuburan turut kena gusur. 

Caranya pun akal - akalan, di mana pada saat tengah malam lahan yang tidak mau diserahkan dibuldoser dengan kawalan tentara bersenjata lengkap. 

Gerakan advokasi dengan pendampingan LSM mulai masuk dalam agenda kegiatan. Seolah berlomba dan berkejaran dengan para aparat yang melakukan sosialisasi, atau lebih tepatnya, pembodohan dari kampung ke kampung, kami melakukan diskusi dan penyadaran kepada masyarakat terdampak bahwa mereka harus mempertahankan tanah dari serbuan investor dan pengembang. 

Teror dan ancaman pun mulai dirasakan. Pernah suatu saat, surat undangan kami kepada masyarakat untuk berdiskusi diketahui oleh aparat dan diserahkan ke Bupati, yang waktu itu adalah seorang tentara aktif. 

Ya, di masa Orde Baru, hampir semua birokrat daerah, bupati dan gubernur adalah prajurit aktif. Itulah implementasi Dwifungsi ABRI yang memang sedang digalakkan. 

Surat itu lalu dijadikan bukti bahwa gerakan kami dituduh melawan pemerintah. Dan sang Bupati pun melancarkan ancamannya, karena advokasi kami dianggap mengganggu program pemerintah.

Sejak itulah gerakan aktivis dan pergerakan mulai mulai masuk dalam kehidupan penulis. 

Secara sistematis penguatan strategi dan kapasitas advokasi pun mulai diikuti. Dari pelatihan analisis sosial, menyusun strategi advokasi, kesadaran hukum, bahkan hal praktis bagaimana menghindari deteksi aparat dan mengelabui petugas Intelijen.

Ya, karena waktu itu kehadiran intelijen merasuk sampai ke kampung - kampung lewat perangkat TNI yang disebut sebagai petugas teritorial. Hampir tidak ada pertemuan yang tidak mereka ketahui. 

Jaman Otoriter

Pelatihan dan berkenalan dengan jaringan pergerakan aktivis membuat penulis semakin sadar betapa saat itu negara memang sedang ada dalam kondisi cenderung diktator dan otoriter. Namun dengan halus hal itu dibalut dengan istilah seolah demokratis.

Para tokoh politik yang berseberangan ditekan dan disingkirkan. Semua dengan alasan, negara butuh keamanan dan kestabilan untuk membangun. Masyarakat dianggap tidak perlu terlibat aktif dalam politik yang dinamakan saat itu sebagai "massa mengambang".

Peristiwa Pemilu 5 tahun sekali benar - benar hanya seremoni. Tidak ada tempat untuk oposisi. Semua lembaga yang sebenarnya diciptakan sebagai penyeimbang hanya pajangan belaka. Termasuk para anggota DPR yang seolah bagai koor, tugasnya hanya menyetujui apa yang sudah diputuskan Pemerintah, atau lebih tepatnya oleh Soeharto. 

Lirik lagu Iwan Fals, Surat Kepada Wakil Rakyat sangat tepat menggambarkan situasi saat itu:

Untukmu yang duduk sambil diskusi
Untukmu yang biasa bersafari

Di sana di gedung DPR
Di hati dan lidahmu kami berharap
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam
Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu "setuju"
Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu "setuju"

Karena lagu - lagu bernada protes seperti ini maka Iwan Fals dilarang mengadakan pertunjukan masal di lapangan. Saya cukup heran bang Iwan tidak sampai masuk penjara karena protes kerasnya itu.

Semaraknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Di penghujung jatuhnya regime Orde Baru, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sangatlah merajalela. Semuanya kasat mata tapi tidak seorangpun berani memprotes.

Saat itu seolah wajar jika para pejabat dan aparat negara kaya dan berlimpah harta. Tidak ada ketakutan mereka untuk memamerkan kemewahannya itu. Bahkan seolah sengaja dipamerkan. 

Kroni - kroni penguasa pun berpesta pora. Sumber daya alam seperti hutan, tambang dan minyak adalah komoditas yang sepenuhnya mereka kuasai. Semua yang mendatangkan uang mereka kelola secara monopoli. Misalnya saja, jeruk di Kalimantan, Cengkeh, dan pembangunan jalan tol. 

Pada saat kejatuhan Soeharto tahun 1998, kebetulan penulis sedang studi di luar negeri. 

Bersama dengan mahasiswa di perantauan, kami memantau dengan harap - harap cemas kejadian politik di dalam negri. 

Kita juga tidak tinggal diam. Kami waktu itu mengorganisir diri melakukan unjuk rasa atas nama Mahasiswa Indonesia guna mendukung gerakan Mahasiswa di dalam negri. 

Tentu berbeda situasinya dengan rekan mahasiswa di Jakarta yang memang suasananya sangat panas. Kami berunjuk rasa dengan tenang, dikawal oleh polisi setempat. Namun yang kami tidak tahu waktu unjuk rasa itu rupanya kami Dimata - matai  dan dipantau ketat oleh pihak KBRI. 

Setelah unjuk rasa selesai dan Soeharto meletakkan jabatan, barulah salah seorang perwakilan KBRI berkata kepada kami, "Syukurlah Soeharto jatuh. Kalau tidak banyak diantara kalian tidak boleh pulang kembali ke Indonesia".

Ini sebagian situasi yang penulis rasakan di jaman Orde Baru. Sebenarnya masih banyak lagi yang bisa diceritakan di sini. Misalnya saja mengenai kegiatan pada saat menjadi mahasiswa, keterlibatan mengorganisir masyarakat miskin kota, buruh, dan anak jalanan.

Namun kalau bisa disimpulkan, semua cerita dan pengalaman itu bisa diungkapkan dengan satu kalimat, jaman orde baru bukanlah jaman yang enak, apalagi jaman keemasan yang layak dipertahankan.

Bangkitnya Semangat Orde Baru

Kini setelah empat dasawarsa berlalu nampaknya semangat Orde Baru ingin kembali ke panggung perpolitikan Indonesia. Kalau sebelumnya hal itu secara sporadis diperjuangkan oleh tokoh - tokoh orde baru yang tersebar di berbagai instansi dan partai politik. Saat ini mereka berani lebih vulgar dengan mendirikan partai politik yang dengan secara jelas mengatakan ingin mengembalikan "kejayaan" Orde Baru. 

Bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi semangat kembalinya Orde Baru ini juga diusung oleh salah seorang Capres yang sekarang sedang berusaha memenangkan Pilpres.

Mereka saat ini berani tampil karena mengharapkan dukungan, bukan hanya oleh generasi tua yang saat itu memang menjadi loyalis Soeharto, tapi juga kaum milenial yang tidak tahu dan tidak mengalami secara langsung betapa buruknya kehidupan demokrasi dan bernegara saat regime Orde Baru berkuasa.

Juga periode ini adalah periode kritis bagi pendukung regime ini, karena kalau mereka tidak berjuang sekarang, maka hampir tidak ada lagi peluang di periode mendatang. Selain karena saat itu nantinya para generasi tua yang fanatik mendukung Orde Baru sudah terlalu uzur, juga, jika pemerintah ini berkuasa satu periode lagi, maka sistem sudah semakin kuat terbangun untuk menangkal bangkitnya  kembali semangat regime  tersebut.

Untuk yang menolak semangat Orde Baru ini kembali berkuasa pun, saat ini adalah waktu yang kritis untuk menentukan, apakah bangsa ini mau maju ke depan sebagai negara maju sejahtera atau kembali ke situasi otoriter yang mencekam.

Bagi generasi milenial, inilah saatnya kamu memilih untuk ikut maju menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi negeri ini. Dan untuk generasi paruh baya dan tua, inilah saat yang menentukan apakah kita bisa menyiapkan era yang kondusif bagi anak cucu untuk menikmati kejayaan bangsa ini*** MG


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun