Gana tak pernah menyangka, dari buku-buku yang ia tukar dengan cabai, benih pengetahuan mulai tumbuh.
Suatu malam, Gana mendengar kabar mengejutkan. Pak Danu ditemukan meninggal di kursi kayu di dalam perpustakaan. Wajahnya damai, tangannya masih menggenggam buku tebal. Polisi bilang: serangan jantung. Tapi yang membuat geger adalah surat wasiat yang ditemukan dalam rak "Filsafat dan Etika".
Surat itu ditulis tangan:
> "Aku, Danu Santoso, pustakawan negeri ini, mengaku telah menyalurkan lebih dari 2.000 eksemplar buku sumbangan yang semestinya disimpan dalam gudang. Aku menjual sebagian kecil dari buku itu seharga sangat murah, untuk bisa membiayai kegiatan literasi keliling, membeli alat tulis, dan membantu keluarga petani seperti keluarga Gana. Aku tahu ini salah. Tapi lebih salah mana: membiarkan buku busuk di kardus, atau membuatnya hidup di tangan anak-anak yang mau belajar?"
Surat itu membuat gempar. Pemerintah lokal menyebut tindakan Pak Danu sebagai bentuk pelanggaran berat. Media nasional menyorotnya: "Korupsi Buku!" Namun, dalam waktu bersamaan, anak-anak yang dulu membeli buku dari Gana mulai angkat suara. Mereka menulis artikel, unggahan media sosial, dan video testimoni tentang bagaimana satu buku murah telah mengubah hidup mereka.
Dari penyelidikan lanjutan, terungkap bahwa perpustakaan tempat Pak Danu bekerja selama ini tidak pernah menerima anggaran pemeliharaan. Tidak ada dana untuk membeli buku baru, memperbaiki bangku, atau bahkan lampu baca. Buku-buku yang dijual Pak Danu berasal dari sumbangan proyek nasional yang menumpuk di gudang kecamatan. Gudang itu sudah penuh rayap. Satu-satunya yang mencoba menyelamatkannya adalah lelaki tua itu.
Sepuluh tahun berlalu. Negeri itu telah banyak berubah. Gana kini menjadi penulis muda dengan dua novel yang masuk nominasi penghargaan sastra ASEAN. Ia sering diundang ke forum internasional untuk membicarakan "literasi di tengah ketidakadilan struktural".
Dalam suatu simposium literasi internasional di Frankfurt, Gana membawakan pidato berjudul "Buku yang Ditukar Cabai". Ia menceritakan kisah ibunya, perpustakaan tua, dan Pak Danu.
"Korupsi tetap salah. Tapi di negeri kami, kesalahan itu terkadang lahir dari niat menyelamatkan. Buku yang dijual dengan harga sepuluh ribu telah melahirkan guru pelosok, penulis remaja, pengajar les keliling, dan seorang anak desa yang kini bicara di depan Anda semua."
Hadirin terdiam. Beberapa meneteskan air mata.
Sementara itu, di sebuah desa kecil, perpustakaan lama telah direnovasi dan diberi nama baru: **Perpustakaan Danu Santoso**. Di sana, anak-anak masih membaca. Buku-bukunya kadang bekas, kadang lusuh, tapi setiap lembarannya hidup.