Mohon tunggu...
Marisa Fitri
Marisa Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswi

Saya adalah salah satu mahasiswi semester akhir. Saya memiliki hobi membaca dan menulis karya sastra yang memiliki nilai moral tersendiri.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Negeri Buku Cabai

13 Agustus 2025   20:17 Diperbarui: 13 Agustus 2025   20:17 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kekuasaan Pemerintah: Meta AI

Di sebuah negeri yang tanahnya basah oleh keringat petani tapi kering oleh keadilan, hidup seorang anak bernama Gana. Negeri itu gemar mengadakan seminar literasi, lomba menulis nasional, dan gerakan 1000 buku, namun pustaka desa tetap sepi dan sekolah pelosok hanya punya papan tulis separuh hitam. Seolah buku hanya menjadi benda sakral untuk pajangan, bukan jembatan menuju masa depan.

Gana adalah anak dari Bu Sarmi, petani cabai yang hidup dari ladang sempit di kaki bukit. Setiap pagi, Gana membantu ibunya memetik cabai merah menyala. Namun, hasil panen yang mereka kumpulkan sebagian besar digunakan untuk membayar pajak tanah yang nilainya semakin tinggi setiap tahun. Tak ada penjelasan, tak ada musyawarah. Hanya surat pemberitahuan dengan cap merah: "Bayar sebelum jatuh tempo, atau tanah disita."

Gana tak tahu mengapa tanah mereka yang ditanami ibunya setiap musim itu harus dibayar kembali kepada negara. "Tanah ini kan sudah dari kakek buyut," tanya Gana suatu malam. Bu Sarmi hanya menghela napas. "Yang kita tanami itu milik negara. Tapi yang kita makan... kadang bukan dari tanah sendiri."

Di sisi lain desa, berdirilah bangunan tua, bekas balai desa yang kini menjadi Perpustakaan Rakyat Harapan. Tidak megah, tidak ramai. Tapi di sanalah tempat satu-satunya Gana mengenal huruf dan buku. Penjaganya adalah Pak Danu, pria tua yang ramah, mantan guru honorer yang kini mengelola perpustakaan dengan semangat sisa-sisa.

Suatu hari, Gana datang membawa setumpuk buku ke perpustakaan. Buku itu adalah sisa distribusi dari program pemerintah pusat yang tidak sempat sampai ke tangan yang membutuhkan.

"Pak, saya serahkan buku ini ke perpustakaan. Tapi... saya mohon bisa ditukar dengan satu karung cabai," katanya.

Pak Danu terkejut. "Kamu jual buku?"

"Bukan jual, Pak. Ibu butuh cabai itu buat bayar pajak. Buku ini... saya dapat dari sumbangan, tapi di desa atas nggak ada yang baca."

Pak Danu menatap Gana dalam-dalam. Ia tahu, yang dilakukan Gana bertentangan dengan aturan. Buku sumbangan seharusnya tidak diperjualbelikan. Tapi ia juga tahu, tanpa uang pajak, keluarga Gana bisa kehilangan tanah mereka.

Akhirnya, transaksi itu terjadi. Sejak hari itu, Gana diam-diam menjual buku ke beberapa komunitas, taman baca keliling, bahkan ke pameran sekolah. Buku-buku itu dijual seharga sepuluh ribu rupiah---harga satu bungkus gorengan dan teh manis.

Namun yang tidak disangka: anak-anak yang membeli buku itu membaca dengan lahap. Mereka belajar menulis, membuat puisi, dan bahkan mengajar adik-adiknya. Salah satu dari mereka, Nara, anak pemulung yang kini mengajar les membaca gratis di balai RT. Ada juga Tono, anak penjaga warung yang mulai menulis cerita pendek dan memenangi lomba menulis remaja.

Gana tak pernah menyangka, dari buku-buku yang ia tukar dengan cabai, benih pengetahuan mulai tumbuh.

Suatu malam, Gana mendengar kabar mengejutkan. Pak Danu ditemukan meninggal di kursi kayu di dalam perpustakaan. Wajahnya damai, tangannya masih menggenggam buku tebal. Polisi bilang: serangan jantung. Tapi yang membuat geger adalah surat wasiat yang ditemukan dalam rak "Filsafat dan Etika".

Surat itu ditulis tangan:

> "Aku, Danu Santoso, pustakawan negeri ini, mengaku telah menyalurkan lebih dari 2.000 eksemplar buku sumbangan yang semestinya disimpan dalam gudang. Aku menjual sebagian kecil dari buku itu seharga sangat murah, untuk bisa membiayai kegiatan literasi keliling, membeli alat tulis, dan membantu keluarga petani seperti keluarga Gana. Aku tahu ini salah. Tapi lebih salah mana: membiarkan buku busuk di kardus, atau membuatnya hidup di tangan anak-anak yang mau belajar?"

Surat itu membuat gempar. Pemerintah lokal menyebut tindakan Pak Danu sebagai bentuk pelanggaran berat. Media nasional menyorotnya: "Korupsi Buku!" Namun, dalam waktu bersamaan, anak-anak yang dulu membeli buku dari Gana mulai angkat suara. Mereka menulis artikel, unggahan media sosial, dan video testimoni tentang bagaimana satu buku murah telah mengubah hidup mereka.

Dari penyelidikan lanjutan, terungkap bahwa perpustakaan tempat Pak Danu bekerja selama ini tidak pernah menerima anggaran pemeliharaan. Tidak ada dana untuk membeli buku baru, memperbaiki bangku, atau bahkan lampu baca. Buku-buku yang dijual Pak Danu berasal dari sumbangan proyek nasional yang menumpuk di gudang kecamatan. Gudang itu sudah penuh rayap. Satu-satunya yang mencoba menyelamatkannya adalah lelaki tua itu.

Sepuluh tahun berlalu. Negeri itu telah banyak berubah. Gana kini menjadi penulis muda dengan dua novel yang masuk nominasi penghargaan sastra ASEAN. Ia sering diundang ke forum internasional untuk membicarakan "literasi di tengah ketidakadilan struktural".

Dalam suatu simposium literasi internasional di Frankfurt, Gana membawakan pidato berjudul "Buku yang Ditukar Cabai". Ia menceritakan kisah ibunya, perpustakaan tua, dan Pak Danu.

"Korupsi tetap salah. Tapi di negeri kami, kesalahan itu terkadang lahir dari niat menyelamatkan. Buku yang dijual dengan harga sepuluh ribu telah melahirkan guru pelosok, penulis remaja, pengajar les keliling, dan seorang anak desa yang kini bicara di depan Anda semua."

Hadirin terdiam. Beberapa meneteskan air mata.

Sementara itu, di sebuah desa kecil, perpustakaan lama telah direnovasi dan diberi nama baru: **Perpustakaan Danu Santoso**. Di sana, anak-anak masih membaca. Buku-bukunya kadang bekas, kadang lusuh, tapi setiap lembarannya hidup.

Gana kini membuka program "Buku untuk Nusantara", mendistribusikan buku-buku ke pelosok melalui jejaring komunitas dan penulis muda. Nara, Tono, dan teman-teman lainnya menjadi relawan tetap. Tak ada lagi cabai yang ditukar buku, tapi semangatnya tetap sama.

Sumbawa, 13 Agustus 2025

Buku dan Cabai Filosofi: Meta AI
Buku dan Cabai Filosofi: Meta AI

Books & Country: Meta AI
Books & Country: Meta AI

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun