Melihat fakta ini, maka sebaiknya kita meninjau ulang bagaimana ulama menjadikan 'Urf  sebagai landasan, menyikapi ayat ahkam, dan memahami makna kaidah. Karena seperti telah disebutkan dalam syarat penggunaannya, 'Urf tidak boleh bertentangan dengan nushus, terlebih apabila redaksi nushus tersebut adalah perintah yang bermakna kewajiban.Â
Maka sangat dilarang melanggarnya terlebih jika menjadikan 'Urf sebagai nasikh (penghapus hukum) pada ayat tersebut. Justru 'Urf tersebut akan masuk pada status 'Urf fasid yang haram bagi umat mengerjakannya karena bertentangan dengan nushus.
Kemudian apabila menganggap bahwa ayat tersebut hanya berlaku pada wanita muslimah di era nabi dan para istri nabi, hal ini juga tidak bisa dibenarkan, dengan bersandar kepada kaidah ushuliyah dalam asbabun nuzul:Â
(Patokan dalam memahami makna ayat adalah lafadznya yang bersifat umum, bukan dengan kekhususan sebabnya).
Maka yang menjadi objek dalam asbabun nuzul ayat di atas disepakati oleh ulama tidak hanya istri Nabi dan wanita muslimah saat itu, tapi berlaku hingga kini pada seluruh muslimah .
       Kemudian menanggapi kaidah fiqhiyyah yang berbunyi:Â
Yang dipakai oleh golongan tadi, maka kita kembalikan keterangannya kepada yang membuat kaidah ini, Imam al-Qarrafi mengatakan bahwa kaidah ini berlaku bagi hukum yang berdiri atas adat bisa berubah bila adat itu berubah sesuai zaman dan tempat, bukan pada hukum yang telah tetap dari nushus.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa 'Urf adalah segala hal kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat banyak di satu daerah, atau dengan kata lain adalah adat masyarakat yang tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam. 'Urf yang shahih bisa dijadikan hujjah dalam hukum, hal ini disepakati oleh ulama. Dalam implementasinya, 'Urf disertai peraturan-peraturan sehingga tidak digunakan untuk melegitimasi keinginan pribadi atau nafsu.