Mohon tunggu...
Marifah Hisbulloh
Marifah Hisbulloh Mohon Tunggu... Guru - Aktif

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Ketika Adat Menjadi Hujjah

24 Mei 2019   02:40 Diperbarui: 24 Mei 2019   03:00 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Perkembangan zaman mengantarkan manusia kepada perubahan, pembaharuan, improvisasi, bahkan perombakan kepada sesuatu yang mungkin tidak dianggap relevan lagi untuk terus dilakukan. Namun pada tatanan kehidupan masyarakat, kadang kala ada rutinitas atau kebiasaan bersama yang merupakan hasil cipta dari nenek moyang, lalu diwariskan kepada kita hingga saat ini. Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai adat dalam masyarakat. 

Islam tentunya mempunyai points of view  tersendiri dalam menanggapi adat yang berlaku dalam masyarakat. terlebih jika ternyata adat tersebut terkait dengan ritual dan tata cara, yang dalam hal ini akan sedikit banyak bersinggungan dengan konten terbesar dalam segmen Islam yaitu Fiqih.

Menarik untuk dikaji, bahwa ternyata dalam literasi lama para ulama telah membahas detail tentang posisi adat masyarakat dalam pandangan syariat.

Benarkah adat masyarakat bisa menjadi landasan dalam berhukum?

Islam yang telah berdiri tegak dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW, tidak serta merta membiarkan penganutnya hidup tanpa arah dan tanpa aturan. Hal ini agar keberlangsungan hidup antar manusia saling terjaga dan tercapai segala maslahatnya. Untuk mencapai maslahat tersebut, Islam memberikan landasan-landasan legalitas perbuatan kepada umatnya yang dinamakan dalil syar'i. 

Hal ini kemudian dibahas dalam sebuah disiplin ilmu bernama ushul fiqih, yang mana dalil-dalil dalam agama terbagi kepada: Al-Qur'an, As-Sunnah, Al-'Ijma, dan Al-Qiyas sebagai jenis dalil yang disepakati seluruh ulama. Kemudian ada lagi dalil yang disepakati oleh sebagian ulama dan masih dipertentangkan oleh sebagian yang lain, yaitu: 'Urf, Istihsan, maslahat mursalah, istishab, qoul Shahabi, syar'u man qablana, dan lain-lain.

Seiring perkembangan zaman, muncul pula perkara-perkara anyar dalam lingkup komunitas tertentu yang tidak ditemukan dalil-dalinya baik dalam nushus (Qur'an dan Sunnah) ataupun Ijma' dan Qiyas. Hal ini membuat sebagian orang melirik kepada dalil al-mukhtalaf fiiha (dalil yang menjadi polemik antar ulama), dimana lebih difokuskan kepada 'Urf  atau kebiasaan yang berlaku kepada sebagian besar masyarakat. 

Pengambilan hukum melalui 'Urf  atau yang kita kenal dengan adat sebagai landasan ini kemudian menjadi Ironi tatkala terjadi miss aplikasi di dalamnya. Tak sedikit dari pemikir-pemikir Islam kontemporer yang menggunakannya untuk melegitimasi pendapat pribadi, sementara hukumnya baik secara eksplisit ataupun prediktif sudah ditetapkan dalam sumber dalil nushus. 

Seperti pada masalah hijab, dimana menurut mereka ayat hijab hanya berlaku di era kenabian saja dan tidak bisa dijadikan pedoman mutlak karena pada intinya, ayat menyuruh memakai kerudung hanya berlaku pada istri nabi dan wanita muslimah di madinah demi menjaga diri dari ancaman kriminalitas 

dan cuaca yang ekstrim. Maka Syahrur menyerukan agar wanita-wanita masa kini boleh menggunakan pakaian sesuai adat yang berlaku saja. Dengan berdalil menggunakan kaidah:

(hukum berubah seiring perubahan zaman dan tempat)

Melihat fakta ini, maka sebaiknya kita meninjau ulang bagaimana ulama menjadikan 'Urf  sebagai landasan, menyikapi ayat ahkam, dan memahami makna kaidah. Karena seperti telah disebutkan dalam syarat penggunaannya, 'Urf tidak boleh bertentangan dengan nushus, terlebih apabila redaksi nushus tersebut adalah perintah yang bermakna kewajiban. 

Maka sangat dilarang melanggarnya terlebih jika menjadikan 'Urf sebagai nasikh (penghapus hukum) pada ayat tersebut. Justru 'Urf tersebut akan masuk pada status 'Urf fasid yang haram bagi umat mengerjakannya karena bertentangan dengan nushus.

Kemudian apabila menganggap bahwa ayat tersebut hanya berlaku pada wanita muslimah di era nabi dan para istri nabi, hal ini juga tidak bisa dibenarkan, dengan bersandar kepada kaidah ushuliyah dalam asbabun nuzul: 

(Patokan dalam memahami makna ayat adalah lafadznya yang bersifat umum, bukan dengan kekhususan sebabnya).

Maka yang menjadi objek dalam asbabun nuzul ayat di atas disepakati oleh ulama tidak hanya istri Nabi dan wanita muslimah saat itu, tapi berlaku hingga kini pada seluruh muslimah .

              Kemudian menanggapi kaidah fiqhiyyah yang berbunyi: 

Yang dipakai oleh golongan tadi, maka kita kembalikan keterangannya kepada yang membuat kaidah ini, Imam al-Qarrafi mengatakan bahwa kaidah ini berlaku bagi hukum yang berdiri atas adat bisa berubah bila adat itu berubah sesuai zaman dan tempat, bukan pada hukum yang telah tetap dari nushus.

Jadi, bisa disimpulkan bahwa 'Urf adalah segala hal kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat banyak di satu daerah, atau dengan kata lain adalah adat masyarakat yang tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam. 'Urf yang shahih bisa dijadikan hujjah dalam hukum, hal ini disepakati oleh ulama. Dalam implementasinya, 'Urf disertai peraturan-peraturan sehingga tidak digunakan untuk melegitimasi keinginan pribadi atau nafsu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun