Sepuluh hingga dua puluh tahun ke depan, kita bisa membayangkan dua jalan berbeda. Jika konservasi gagal, di tahun 2045---saat Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaan---orangutan mungkin hanya ada di kebun binatang, gajah hanya dikenang lewat foto, dan auman harimau tinggal mitos. Tetapi jika kita memilih jalan harapan, hutan adat diakui penuh oleh negara, masyarakat adat diberi kuasa penuh untuk mengelola hutan, dan teknologi hadir sebagai sekutu. Gajah melintasi wildlife corridor yang aman, orangutan kembali bergelantungan di hutan yang dipulihkan, dan harimau tetap menjadi penjaga sunyi rimba. Anak-anak desa belajar mengenal satwa melalui pengalaman langsung, sementara anak-anak kota memahami pentingnya konservasi lewat teknologi realitas virtual. Empati tumbuh, dan solidaritas antar-manusia dengan satwa terjalin.
Inilah inti dari Hope for the Wild: bahwa satwa karismatik masih bisa diselamatkan, bahwa masyarakat adat bisa berdaya, dan bahwa manusia bisa belajar rendah hati. "Speak for the Species" bukan hanya tema lomba, tetapi panggilan moral. Jika kita memilih diam, maka hutan akan sunyi dan generasi mendatang hanya mengenal satwa karismatik lewat gambar di buku. Tetapi jika kita memilih berbicara dan bertindak, maka anak cucu kita masih bisa mendengar auman harimau, melihat kawanan gajah berjalan megah, dan menyaksikan orangutan bergelantungan di rimba Nusantara.
Harapan itu ada. Pertanyaannya sederhana: apakah kita mau menjadi suara mereka, atau justru saksi bisu dari kehilangannya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI