"Sukma, kamu kok selalu sakit-sakitan sih sudah beberapa bulan ini?", tanya sang Ibu kepada Sukma yang baru saja pulang sambil terbatuk-batuk.
 Memang sudah beberapa minggu ini Sukma terserang batuk yang tak kunjung tiba. Berobat ke dokter sudah, beli obat batuk di apotek juga sudah dilakukan namun Sukma tetap saja masih batuk.
 "Iya bu, gak tahu juga nih. Apa Sukma stress ya gara-gara kondisi di tempat kerja makin ribet," jawab Sukma sambil masuk kamar.
 "Ibu sendiri gimana? Masih diare? Kalau masih diare, coba kita ke dokter spesialis penyakit dalam saja, siapa tahu harus diambil tindakan untuk usus Ibu," jawab Sukma lagi sambil berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
 Memang sudah sebulan ini Ibu diare, dan belum sembuh sama sekali meskipun sudah ke dokter beberapa kali serta minum obat. Sukma sangat khawatir sebab meskipun masih bisa beraktivitas, Ibu jadi susah makan karena takut sehabis makan selalu diare.
 "Kamu masih saja diminta meningkatkan penjualan sementara itu keluarga bosmu cuma duduk-duduk di kantor?", tanya ibu sambil menonton televisi. Ibu tetap ngotot bertanya terkait pekerjaan Sukma.
 "Ya masih lah Bu.. kalau bukan aku siapa lagi. Sudah gitu perilaku anak-anak lapangan di kantor kebangetan banget. Nyuri uang operasional kantor yang nilainya lumayan dengan mengubah nilai nota," ucap Sukma lagi.
 "Pada ga takut kena azab Allah apa ya, itu si Dika punya anak perempuan sakit-sakitan ya ga mau diobati lebih lanjut. Kasihan tuh anak perempuannya sakit gara-gara perilaku bapaknya pas masih dapat uang banyak karena perjalanan dinas kantor dipake buat maksiat," ujar Sukma lagi sambil terus nyerocos.
 "Huss.. kamu ndak boleh gitu Sukma, manusia itu ujiannya masing-masing dan belum tentu juga kondisi anaknya Dika karena ulah dia di masa lalu. Mungkin Allah punya rencana yang temanmu itu ndak tahu," ujar si Ibu.
 Sambil ngeloyor ke kamar mandi, Sukma pun tidak melanjutkan pembicaraan. Dia sudah terlalu lelah dengan kondisi di kantor sehingga tidak mampu lagi berkata-kata.