Mohon tunggu...
Marianus Krisanto Haukilo
Marianus Krisanto Haukilo Mohon Tunggu... Penulis - MARHAEN

Satyam Eva Jayate

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Dari Isu Pemindahan Ibukota, Rasisme Papua, dan Amandemen Terbatas UUD 1945

2 September 2019   21:22 Diperbarui: 3 September 2019   00:47 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membawakan Materi Pancasila 1 Juni bagi Mahasiswa asal Kabupetan Sikka, NTT. dokpri

Awalnya pernyataan di bawah ini muncul secara spontan untuk menjawab beberapa pertanyaan dari teman saya terkait isu nasional yang sedang menjadi perbincangan publik.

Kiranya jawaban ini dapat menjadi pemantik dan bahan diskursus akademik sehingga dapat menghasilkan narasi ilmiah yang kritis untuk perkembangan ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan akan bernilai jika terus diperdebatkan secara akademik dan ideologis. Karena kontradiksi antar dua pemikiran akan menumbuhkan sintesa baru yang kritis dan analitis yang nilainya dapat mencapai kebenaran umum.

Apa pendapat Anda tentang Pemindahan Ibukota Republik Indonesia?
Secara pribadi saya setuju karena dengan adanya pemindahan pusat pemerintahan ke Provinsi Kalimantan Timur (Kabupaten Panajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara), maka akan membawa dampak positif pada pemerataan pembangunan dan dapat mengurangi permasalahan sosial di Jakarta. Tetapi dari kajian akademiknya, pemerintah diduga belum terlalu siap untuk agenda besar ini.

Dalam rencananya anggaran pembangunan itu melibatkan beberapa pihak, APBN 19,1%, Swasta 26% dan sisanya lagi kerja sama dengan pihak ketiga.

Kementerian PUPR sudah umumkan anggaran untuk pemindahan Ibukota 466 T, dan anggaran awal untuk pembangunan sebesar 865 M. Namun ironinya, dana sebesar itu  belum dipastikan sumbernya dari mana. Artinya belum siap secara matang baik secara akademik maupun teknisnya.

Lalu porsi anggaran 26% yang melibatkan pihak swasta itu dapat berdampak buruk pada masyarakat yang tinggal disekitar daerah calon Ibukota karena biaya hidup akan semakin tinggi, karena tujuan dari pihak swasta tidak lain adalah mencari keuntungan.

Jadi masyarakat lokal dapat terancam keberadaannya ketika harus beradaptasi dengan pola dan biaya hidup perkotaan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dampak buruknya dapat menimbulkan reurbanisasi penduduk dan dapat mengancam tatanan nilai sosial dan budaya setempat.

Walaupun lahan yang akan digunakan membangun Ibukota sebagian besarnya merupakan tanah milik negara, bukan tidak mungkin tetap akan menimbulkan masalah baru di sekitar lahan yang akan digunakan terutama konflik dengan masyarakat.

Oleh karenanya, wacana pemindahan Ibukota perlu kajian yang lebih terukur dan terarah sehingga rencana pemindahan Ibukota itu dapat berdampak positif bagi masyarakat dan negara, bukan sebaliknya.

Bagaimana wacana pemindahan Ibukota dengan peluang Bonus Demografi di Indonesia dan Revolusi Industri 4.0?
Sesuai pernyataan Presiden Jokowi bahwa Jakarta akan dijadikan sebagai pusat bisnis dan perekonomian nasional serta internasional.  Dengan anggaran pemindahan Ibukota sebesar 466 T tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga visi mewujudkan masyarakat adil dan makmur dapat tercapai. Kalimantan Timur akan menjadi lokasi baru sebagai pusat tujuan masyarakat dapat mencari pekerjaan.

Bonus demografi dapat berdampak baik tetapi juga dapat berdampak buruk. Kelebihannya karena dengan adanya Revolusi Industri 4.0 maka penggunaan teknologi akan memudahkan kehidupan manusia sehingga akan meningkatkan perekonomian rakyat karena sistem digitalisasi dan otomatisasi yang bekerja secara cepat dan cost yg murah sehingga akan menghemat waktu dan tenaga.

Dampak buruknya, ketika bonus demografi diperhadapkan pada Revolusi Industri 4.0, maka ini sesuatu yg akan kontradiksi. Ketika semua sistem terintegrasi secara otomatis menggunakan sistem digital, maka tenaga kerja yang diperlukan akan berkurang.

Bahkan hasil riset sekitar 35% pekerjaan di Indonesia akan berganti dengan sistem digital.

Dampak buruknya yaitu semakin meningkatnya angka pengangguran yang justru berada di usia produktif. Lapangan pekerjaan tidak mampu menyerap semua tenaga kerja usia produktif karena sudah menggunakan sistem otomatisasi yang justru membutuhkan sedikit tenaga kerja.

Ini persoalan serius bangsa yang harus disikapi bersama dengan sungguh-sungguh. Banyak negara maju karena berhasil memanfaatkan peluang bonus demografinya. Tetapi jika tidak, maka bonus demografi bukan suatu peluang positif tetapi justru suatu malapetaka bagi bangsa dan negara Indonesia.

Bagaimana pendapat Anda tentang kasus rasisme di Papua?
Mengenai masalah Papua, yang pertama ingin saya sampaikan bahwa itu sudah pasti ada intrik kepentingan politik yang kemudian dibesar-besarkan oleh oknum tertentu demi kepentingan pribadi dan golongan.

Dari sisi kemanusiaan, aksi di Papua yang masih berkepanjangan hingga hari ini bermula dari peristiwa 16 Agustus 2019 di asrama mahasiswa Papua di Surabaya.

Ketika itu ada oknum yang menyebut mahasiswa Papua dengan perkataan "monyet".  Sebagai manusia yang punya hati dan budi mereka sudah tentu sangat terluka dengan kata yang tidak wajar tersebut.

Sikap emosional ini berakibat pada aksi massa di beberapa wilayah di Indonesia, misalnya di Makassar dan di Papua dan Papua Barat. Walaupun Presiden, Gubernur Jawa Timur, Walikota Surabaya dan beberapa tokoh bangsa dan tokoh agama sudah menyampaikan permohonan maaf secara terbuka, tetapi warga Papua membutuhkan pendekatan yang lebih beradab terutama secara kultur sehingga dapat mengobati rasa  kemanusiaan mereka yang sementara terluka saat ini.

Respon mereka terkait perkataan yang tidak manusiawi ("monyet") yang berujung aksi massa, awalnya merupakan tindakan spontan dan murni karena rasa kemanusiaan mereka tersayati.

Namun tak dapat disangkal pula bahwa jika aksi beruntun itu murni tanpa ada aktor intelektual dibelakangnya, dapat dipastikan bahwa amarah mereka mungkin sudah bisa diredakan. Tetapi ini sengaja disusupi oleh oknum tertentu demi kepentingan tertentu dan untuk mengacaukan bangsa dan negara Indonesia.

Terlepas dari berbagai kepentingan dibelakangnya, dari segi kemanusiaan, sebagai satu bangsa yang memiliki jejak sejarah yang sama, harusnya menerima segala perbedaan sebagai kekayaan dan seuatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari, tetapi yang terutama adalah mencari titik temu untuk mempersatukan semua perbedaan itu menjadi satu kekuatan untuk bersama membangun bangsa dan negara ini.

Salah satu alternatif untuk menyelesaikan konflik Papua yakni seperti yang sering disampaikan oleh tokoh orang Papua yakni Orang Papua Asli (OPA) akan lebih tunduk dan taat terhadap adat mereka daripada agama dan negara.

Ini berarti bahwa solusi penyelesaian konflik Papua tidak selamanya menggunakan aparat keamanan (TNI/Polri), tetapi juga harus menggunakan pendekatan partisipatif dan secara dialogis kultural yang melibatkan tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, pemerintah serta seluruh tokoh penting Papua.

Apa pendapat Anda terkait rencana Amandemen Terbatas UUD 1945?
Saya sangat sependapat dengan rencana diadakan "amandemen terbatas" UUD 1945. Ini merupakan suatu kebijakan dan keputusan politik, sehingga sudah tentu ada kepentingan politik dibalik itu. Tetapi saya melihatnya dari sisi positif.

Pertama, dengan adanya kalimat "amandemen terbatas" maka yang diubah hanya pasal tentang kedudukan dan wewenang MPR RI tanpa mengganggu pasal-pasal lain di dalam UUD 1945. Ini sudah konsensus bersama yang  final.

Kedua, usul "amandemen terbatas" UUD 1945 itu dalam rangka menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), dimana GBHN inilah yang akan dijadikan sebagai pedoman dan road map pembangunan Indonesia kedepan.

Jika nantinya sudah ada GBHN, maka pembangunan Indonesia akan semakin terencana dan terarah sehingga sekalipun setiap lima tahun ada pergantian Presiden maupun kepala daerah, rencana pembangunan akan tetap berpedoman pada GBHN yang ditetapkan.

Setiap visi-misi yang diusung oleh masing-masing calon presiden maupun kepala daerah tetap bersumber dari GBHN sebagai blue print pembangunan Indonesia.

Jika ini dapat dijalankan dengan baik maka tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana alinea keempat pembukaan UUD 1945 akan tercapai melalui rel yang disepakati bersama.

Demikian beberapa hal yang dapat disampaikan, semoga pandangan-pandangan di atas dapat menjadi bahan diskursus ilmiah yang dapat diperdebatkan secara akademik, falsafah maupun ideologis.

Oleh: Marianus K. Haukilo*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun