Mohon tunggu...
Marianus Krisanto Haukilo
Marianus Krisanto Haukilo Mohon Tunggu... Penulis - MARHAEN

Satyam Eva Jayate

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Dari Isu Pemindahan Ibukota, Rasisme Papua, dan Amandemen Terbatas UUD 1945

2 September 2019   21:22 Diperbarui: 3 September 2019   00:47 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bonus demografi dapat berdampak baik tetapi juga dapat berdampak buruk. Kelebihannya karena dengan adanya Revolusi Industri 4.0 maka penggunaan teknologi akan memudahkan kehidupan manusia sehingga akan meningkatkan perekonomian rakyat karena sistem digitalisasi dan otomatisasi yang bekerja secara cepat dan cost yg murah sehingga akan menghemat waktu dan tenaga.

Dampak buruknya, ketika bonus demografi diperhadapkan pada Revolusi Industri 4.0, maka ini sesuatu yg akan kontradiksi. Ketika semua sistem terintegrasi secara otomatis menggunakan sistem digital, maka tenaga kerja yang diperlukan akan berkurang.

Bahkan hasil riset sekitar 35% pekerjaan di Indonesia akan berganti dengan sistem digital.

Dampak buruknya yaitu semakin meningkatnya angka pengangguran yang justru berada di usia produktif. Lapangan pekerjaan tidak mampu menyerap semua tenaga kerja usia produktif karena sudah menggunakan sistem otomatisasi yang justru membutuhkan sedikit tenaga kerja.

Ini persoalan serius bangsa yang harus disikapi bersama dengan sungguh-sungguh. Banyak negara maju karena berhasil memanfaatkan peluang bonus demografinya. Tetapi jika tidak, maka bonus demografi bukan suatu peluang positif tetapi justru suatu malapetaka bagi bangsa dan negara Indonesia.

Bagaimana pendapat Anda tentang kasus rasisme di Papua?
Mengenai masalah Papua, yang pertama ingin saya sampaikan bahwa itu sudah pasti ada intrik kepentingan politik yang kemudian dibesar-besarkan oleh oknum tertentu demi kepentingan pribadi dan golongan.


Dari sisi kemanusiaan, aksi di Papua yang masih berkepanjangan hingga hari ini bermula dari peristiwa 16 Agustus 2019 di asrama mahasiswa Papua di Surabaya.

Ketika itu ada oknum yang menyebut mahasiswa Papua dengan perkataan "monyet".  Sebagai manusia yang punya hati dan budi mereka sudah tentu sangat terluka dengan kata yang tidak wajar tersebut.

Sikap emosional ini berakibat pada aksi massa di beberapa wilayah di Indonesia, misalnya di Makassar dan di Papua dan Papua Barat. Walaupun Presiden, Gubernur Jawa Timur, Walikota Surabaya dan beberapa tokoh bangsa dan tokoh agama sudah menyampaikan permohonan maaf secara terbuka, tetapi warga Papua membutuhkan pendekatan yang lebih beradab terutama secara kultur sehingga dapat mengobati rasa  kemanusiaan mereka yang sementara terluka saat ini.

Respon mereka terkait perkataan yang tidak manusiawi ("monyet") yang berujung aksi massa, awalnya merupakan tindakan spontan dan murni karena rasa kemanusiaan mereka tersayati.

Namun tak dapat disangkal pula bahwa jika aksi beruntun itu murni tanpa ada aktor intelektual dibelakangnya, dapat dipastikan bahwa amarah mereka mungkin sudah bisa diredakan. Tetapi ini sengaja disusupi oleh oknum tertentu demi kepentingan tertentu dan untuk mengacaukan bangsa dan negara Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun