Tersadar akan pengaruh negatif media sosial dalam hidup saya, saya pun mengurangi pemakaian media sosial. Langkah yang saya ambil cukup ekstrim: berhenti berelancar di media sosial selama 25 hari berturut-turut.
Di awal-awal tidak bermain media sosial, rasanya ada yang kurang. Saya ingin sekali membuka media sosial sekedar untuk melihat pembaharuan dari grup yang saya ikuti atau melihat apa yang sedang menjadi trend. Istilah sekarang fear of missing out (FOMO). Namun setelah berjalan kurang-lebih seminggu, saya merasa baik-baik saja, bahkan hidup saya jadi jauh lebih tenang dan memuaskan. Kurang update namun tenang. Ini efek dari kembalinya reseptor-reseptor dopamin yang sebelumnya mengalami pengurangan (down regulation) karena terlalu banyak dibombardir oleh dopamin.
Mengganti kegiatan bermain media sosial dengan mengerjakan hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas hidup meskipun jauh lebih membosankan seperti membersihkan rumah, mandi, olahraga, membaca buku bagus, dsb ternyata ampuh membuat hidup saya terasa lebih hidup lagi. Mekanisme neurologis yang mendasarinya adalah dengan membiasakan diri melakukan hal-hal yang hanya mengeluarkan dopamin dalam jumlah kecil, akan terjadi (lagi) sistem keseimbangan tubuh yang menyebabkan peningkatan jumlah reseptor dopamin di otak. Pada akhirnya hal-hal "biasa" dalam hidup kita akan terasa bermakna kembali.
Saat ini saya sudah kembali menggunakan media sosial. Sudah kembali memposting buah pikiran dan kegiatan saya meski tidak setiap hari. Berbagi minat dalam grup-grup yang ada di dalamnya (saya ikut grup Kosmologi Indonesia yang membahas science, Macros inc yang membahas cara berdiet dengan menghitung makronutrient, grup belajar membuat donat, dan sebagainya). Saya belajar banyak dari media sosial dan berusaha sebisa mungkin agar tidak sampai ketergantungan lagi.