Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hobby Pilihan

Saat Saya Kecanduan Media Sosial

8 Mei 2021   10:56 Diperbarui: 8 Mei 2021   12:31 201 4
Ibu beranak tiga, pecinta kopi tapi harus pakai gula yang banyak. Itu adalah bio tercantum pada akun Facebook saya, tepat di bawah foto profil. Kalimat yang menjadi pengantar bagi orang-orang yang ingin mengenal saya lewat media sosial yang digawangi Mark Zuckerberg itu.

Ya, meskipun saya memiliki akun di beberapa media sosial lainnya seperti Twitter, Instagram, Linkedln, dan Quora (eh, Quora masuk media sosial atau tidak sih?) saya hanya aktif di Facebook. Khas generasi boomer, meskipun usia saya masuk ke golongan milenial. Di Facebook saya berteman dengan ibu, bapak, dan pakde-pakde saya. Hal ini membuat saya sedikit banyak merasa tua, tapi tidak ada yang lebih membuat saya merasa tua saat salah seorang kenalan yang usianya satu tahun lebih muda memberitahu bahwa ia tidak punya akun Facebook.

"Saya nggak main Facebook. Tapi saya punya akun Instagram. Kakak ada IG?"

Wkwkwk ... Saya punya akun Instagram juga sih, tapi nggak aktif. Foto terakhir yang saya unggah berasal dari tiga tahun yang lalu.

Bicara tentang media sosial, sebenarnya Kompasiana juga dapat dimasukkan ke dalam golongan media sosial lho. Lihat saja disclaimer di bawah yang menyatakan bahwa Kompasiana adalah platform blog sehingga isi artikel merupakan tanggungjawab penulisnya. Blog, yang sebenarnya merupakan singkatan dari weblog, merupakan salah satu media sosial tertua, yang muncul sebelum media sosial seperti yang kita kenal ini. Mungkin sama tuanya dengan kanal chatting MIRC.

Mengapa hari ini saya menulis tentang media sosial? Ya karena ini topik pilihan Kompasiana. Menulis topik pilihan adalah latihan terbaik untuk tetap menulis saat merasa nggak punya ide. Tantangannya ada pada bagaimana kita mengolah tema yang telah ditentukan menjadi tulisan yang enak disimak dan (kalau bisa) bermanfaat.

Sesuai judulnya, hari ini saya akan menceritakan tentang hubungan cinta tapi benci saya dengan media sosial. Kalau kata anak Jakarta Selatan, "sebuah love-hate relationship gitu". Terutama dengan akun Facebook saya sebagai akun media sosial utama. Saya tidak akan membahas Twitter dan Instagram sebab saya hanya menggunakan keduanya seperlunya. Twitter untuk melihat apa yang sedang happening di Indonesia dan Instagram untuk mendaftar simposium online di organisasi profesi yang saya ikuti.

Dimulai dengan saat saya mendaftar Facebook di tahun 2009 silam. Saya membuat akun Facebook karena teman-teman saya saat itu sudah beralih dari Friendster ke Facebook. Jadi mulanya sekadar ikut-ikutan, agar tidak tertinggal dari teman-teman.

Pada mulanya teman-teman media sosial (Facebook) saya hanyalah mereka yang saya kenal di dunia nyata. Ketika itu saya berprinsip bahwa media sosial adalah tempat untuk mencari tahu kabar terkini dari orang-orang yang sudah kita kenal sebelumnya (di dunia nyata), entah sebagai kawan, teman kerja, keluarga, maupun mereka yang sekadar "pernah bertemu" dengan kita.

Saya tidak tertarik untuk berkenalan dengan orang baru karena khawatir akan konsekuensi keamanannya. Ya kalau orang yang kenalan dengan kita di dunia maya itu orang baik-baik, bagaimana jika tidak? Tak kurang banyak berita tentang anak gadis yang dilarikan teman Facebooknya yang ternyata penjahat atau berita tentang mereka yang ditipu sejumlah besar uang. Saya tidak mau menjadi salah satu dari mereka.

Baru setelah Facebook meluncurkan setting terbarunya, tempat kita bisa memilih untuk membagikan sebuah postingan pada: diri kita sendiri, kenalan dekat (daftar teman yang kita pilih sendiri), teman di Facebook, dan publik, saya merasa lebih aman untuk berkenalan dengan mereka yang tidak saya kenal di dunia nyata. Orang-orang pertama yang saya tambahkan ke daftar teman ini adalah Kompasianer.

Alasan saya menambahkan mereka sebagai teman padahal belum pernah bertemu sangat sederhana: saya mengenali mereka dari tulisan mereka di Kompasiana. Dari tulisan-tulisan tersebut saya bisa mengetahui apakah seseorang itu orang baik-baik. Sulit lho, pura-pura menjadi orang (berpikiran) baik setelah lebih dari 100 tulisan. Dan terbukti benar, teman saya yang Kompasianer memang baik-baik. Beberapa yang postingannya masih sering lewat di laman muka Facebook saya sampai sekarang adalah: Bu Lis Suwasono, L. Maurinta, Kartika Lestari Kariono, Bu Leya Catleya, dan Arako.

Selain Kompasianer, saya juga menambahkan orang-orang yang pemikirannya sejalan dengan saya, atau kalaupun bertentangan, tidak terlalu vulgar. Maksudnya bahasa yang digunakan tetap santun dan tidak suka debat-debat tak berguna. Tahu sendiri kan betapa besar polarisasi yang terjadi di masyarakat (media sosial) menjelang Pilpres 2014 kemarin. Dari mana saya mengetahui pemikiran mereka? Dari postingan mereka yang di-setting publik.

Setting publik pada postingan Facebook artinya postingan tersebut dapat dilihat oleh semua orang tanpa harus menjadi teman dari pemilik status. Postingan tersebut juga dapat dicari dari luar Facebook, misalnya lewat mesin penelusuran Google. Oleh sebab itu, saya pasti berpikir baik-baik sebelum memutuskan untuk mempublikasikan sebuah postingan dalam setting publik: apakah postingan ini benar, berguna dan baik? Jika ada satu jawaban tidak dari ketiga pertanyaan tersebut, maka sebaiknya postingan tersebut tidak jadi dipublikasikan sebab jejak digital itu (kadangkala) bisa kejam.

Terbukti dengan menyaring teman berdasarkan hal ini, tidak ada postingan bernada ujaran kebencian atau hal-hal yang menggelisahkan hati mampir di beranda Facebook saya. Bisa dikatakan linimasa media sosial saya relatif aman.

Masalah yang timbul kemudian bukan berasal dari segi keamanan maupun konten yang mampir ke beranda saya namun dari saya sendiri. Saya kecanduan media sosial!

Jangan salah, kecanduan media sosial benar-benar nyata. Media sosial yang baik memang dirancang agar penggunanya menghabiskan banyak waktu di sana. Media sosial yang dirancang dengan baik akan memicu keluarnya banyak dopamin di otak kita. Makin baik media sosial itu, makin deras dopamin yang keluar.

Dopamin adalah neurotransmitter (senyawa organik yang dibuat oleh tubuh dan berfungsi sebagai pembawa sinyal antar sel saraf, bisa dikatakan sebagai "media ngobrol" antar sel saraf) yang memberikan rasa puas atas pencapaian. Dopamin yang keluar saat bermain gim maupun berselancar di media sosial memberikan kesenangan pada kita, semacam "hadiah" untuk otak atas aktivitas yang kita lakukan.

Permasalahannya tubuh kita memiliki sistem keseimbangan atau homeostatis. Ketika dopamin terlalu banyak, maka tubuh akan berusaha mengkompensasinya dengan mengurangi jumlah reseptor dopamin pada otak. Reseptor ini merupakan tempat dopamin "diterima" sel saraf agar dapat bekerja. Dengan kata lain agar bisa bekerja dan menimbulkan efek, dopamin harus terikat dengan reseptornya.

Yang terjadi jika jumlah reseptor dopamin di otak berkurang adalah kita jadi membutuhkan jumlah dopamin yang lebih banyak untuk memperoleh kepuasan yang sama. Ingat, dopamin memicu timbulnya rasa puas karena mengerjakan sesuatu. Kita jadi membutuhkan lebih banyak waktu untuk berselancar di media sosial, butuh lebih banyak like and comment dan sebagainya. Media sosial memang dirancang agar penggunanya ingin datang kembali lagi dan lagi.

Inilah gejala yang saya rasakan saat akhirnya menyadari bahwa saya telah kecanduan media sosial: saya jadi mengecek linimasa saya secara obsesif-kompulsif, hanya untuk mengetahui apakah ada komentar atau like terbaru dari postingan saya. Saya berusaha memikirkan bagaimana membuat postingan yang mengundang orang untuk membagikannya, minimal berkomentar. Saya akan menulis setiap hari, bahkan pernah lebih dari sekali sehari, hanya agar saya merasa lebih baik lagi. Ingat, banyak like sama dengan lebih banyak dopamin yang keluar di otak saya.

Masalah lain yang muncul selama saya kecanduan adalah: kegiatan sehari-hari saya yang tidak mengeluarkan dopamin dalam jumlah besar jadi tidak menyenangkan lagi. Kegiatan apa saja? Banyak, misalnya membersihkan rumah, mandi, membaca buku atau  materi (kuliah, atau materi apapun yang cukup berat), dan sebagainya. Saya jadi kehilangan minat pada hal-hal ini, padahal hal-hal tersebut penting untuk kehidupan kita.

Tersadar akan pengaruh negatif media sosial dalam hidup saya, saya pun mengurangi pemakaian media sosial. Langkah yang saya ambil cukup ekstrim: berhenti berelancar di media sosial selama 25 hari berturut-turut.

Di awal-awal tidak bermain media sosial, rasanya ada yang kurang. Saya ingin sekali membuka media sosial sekedar untuk melihat pembaharuan dari grup yang saya ikuti atau melihat apa yang sedang menjadi trend. Istilah sekarang fear of missing out (FOMO). Namun setelah berjalan kurang-lebih seminggu, saya merasa baik-baik saja, bahkan hidup saya jadi jauh lebih tenang dan memuaskan. Kurang update namun tenang. Ini efek dari kembalinya reseptor-reseptor dopamin yang sebelumnya mengalami pengurangan (down regulation) karena terlalu banyak dibombardir oleh dopamin.

Mengganti kegiatan bermain media sosial dengan mengerjakan hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas hidup meskipun jauh lebih membosankan seperti membersihkan rumah, mandi, olahraga, membaca buku bagus, dsb ternyata ampuh membuat hidup saya terasa lebih hidup lagi. Mekanisme neurologis yang mendasarinya adalah dengan membiasakan diri melakukan hal-hal yang hanya mengeluarkan dopamin dalam jumlah kecil, akan terjadi (lagi) sistem keseimbangan tubuh yang menyebabkan peningkatan jumlah reseptor dopamin di otak. Pada akhirnya hal-hal "biasa" dalam hidup kita akan terasa bermakna kembali.

Saat ini saya sudah kembali menggunakan media sosial. Sudah kembali memposting buah pikiran dan kegiatan saya meski tidak setiap hari. Berbagi minat dalam grup-grup yang ada di dalamnya (saya ikut grup Kosmologi Indonesia yang membahas science, Macros inc yang membahas cara berdiet dengan menghitung makronutrient, grup belajar membuat donat, dan sebagainya). Saya belajar banyak dari media sosial dan berusaha sebisa mungkin agar tidak sampai ketergantungan lagi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun