Mohon tunggu...
Taufik Al Mubarak
Taufik Al Mubarak Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Tukang Nongkrong

Taufik Al Mubarak, blogger yang tak kunjung pensiun. Mengelola blog https://pingkom.com

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Puasa Media Sosial, Saya belum Mampu Entah dengan Anda

30 Maret 2024   22:07 Diperbarui: 30 Maret 2024   22:18 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi profil Twitter. Photo: Platform X

Selama ini, saya lebih banyak menghabiskan waktu di media sosial ketika online, dibandingkan membaca media atau bermain game. Bahkan jika ada berita yang menarik minat saya, itu pun saya dapatkan melalui media sosial. Dan, media sosial yang paling sering saya buka adalah Twitter (kini X), bukan Facebook atau Instagram, apalagi TikTok. Jika YouTube masuk dalam kategori media sosial, maka platform ini pun paling sering saya akses.

Orang lain mungkin 'jatuh cinta' dengan Instagram atau Facebook, tapi tidak dengan saya. Twitter-lah yang membuat saya tergoda untuk membukanya setiap hari, saat memegang gadget. Soalnya, saya kerap menjadikan media sosial itu sebagai sumber mendapatkan informasi dan isu-isu yang sedang hangat dibicarakan. Saya memanfaatkan media sosial untuk menyeleksi informasi seperti apa yang ingin saya konsumsi.

Di tengah tsunami informasi, kita jelas tidak tahu mana informasi yang harus kita baca atau ingin kita ketahui. Semua informasi datang seperti banjir bandang. Belum selesai berita yang satu kita baca, sudah disuguhi berita lain. Dengan memanfaatkan media sosial seperti X, saya hanya membaca berita yang benar-benar menarik perhatian saya atau minimal sesuai dengan minat saya. Boleh dibilang, dari media sosial (terutama X), barulah saya mengunjungi sebuah website.

Mengapa saya jatuh hati pada media sosial Twitter? Jawabannya mungkin sangat personal dan klise: saya merasa nyaman di Twitter. Saya ingat, pertama kali membuat akun di Twitter itu pada Juni 2008, empat bulan sebelum saya membuat akun di Kompasiana. Saat itu, kami para blogger banyak menggunakan Twitter untuk membagikan (sharing) tulisan di blog. Hal ini akan membantu meningkatkan lalu lintas kunjungan ke blog milik kita.

Kini, Twitter sudah jauh berkembang dan bukan lagi media sosial untuk sharing blog. Twitter kita digunakan sebagai forum diskusi, medium berbagi opini dan tempat di mana semua orang merasa diri jadi pakar. Platform X banyak digunakan para pesohor, pemimpin negara atau organisasi, dan brand ternama. Tidak seperti Facebook yang sedikit 'bebas' dan 'ramai', atau Instagram yang lebih stylist, Twitter dikenal sedikit elitis dengan topik yang tidak receh. Para pemimpin atau kalangan terdidik kerap membagikan pandangannya di media sosial ini.

Di jejaring  sosial ini sebuah wacana berkembang cepat, diperbincangkan ratusan ribu orang, dan jadi trending. Semua orang seperti menemukan 'teman diskusi' dan 'musuh bersama' atau medium menumpahkan keluh-kesah. Sebuah isu atau topik menggelinding bak bola salju dan tidak pernah tahu siapa yang sedang memainkan isu tersebut, kecuali dugaan bahwa isu tersebut sedang digoreng kalangan tertentu. 

Saya teringat apa yang disampaikan Thomas Friedman, penulis buku The World is Flat. "Setiap orang terkait namun tak seorang pun yang mengendalikan," tulisnya seperti dikutip Fareed Zakaria dalam bukunya Masa Depan Kebebasan (2003). Di media sosial, kadang kita dipersatukan oleh keyakinan atau opini dan melawan kelompok lain yang memiliki opini berbeda. Lalu, kita tenggelam dalam diskusi yang tidak berkesudahan. Di satu sisi ini tentu saja seru dan menyenangkan, meski di sisi lain kita terkadang menghabiskan waktu untuk sesuatu yang pada akhirnya hanya sia-sia belaka.

Belakangan, saya lebih banyak menghabiskan waktu di Facebook. Di media milik Mark Zuckerberg ini, saya kerap mencatat hal-hal yang sedang terlintas di kepala, sebuah momen, dan gambar yang baru saja direkam. Saya kerap menggunakan beranda platform dari Meta ini untuk mencatat suatu ide yang saya pikir penting, sebelum ide tersebut diterbangkan angin. Seiring dengan bertambahnya usia, saya kerap 'dikeroyok' lupa jika tidak segera mencatatnya, sebagai sebuah status.

Alasan lain saya aktif di Facebook karena kini platform yang menghubungkan orang ini sudah jauh lebih 'manusiawi'. Kita sebagai kreator konten kini sudah sedikit dihargai dalam bentuk rewards yang tidak seberapa. Karena saking penasarannya, saya menceburkan diri lebih aktif, untuk tahu seberapa besar rewards yang bisa kita peroleh.

Jika ditanya apakah saya mampu untuk puasa media sosial, jelas tidak mampu, entah dengan teman-teman. Sejauh ini saya masih membutuhkan media sosial, minimal sebagai medium berbagi konten blog untuk khalayak yang lebih luas. []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun