Oleh: Maria Immaculata Rizka Sari
Kita mencinta dari dua kota,
dua zona waktu, dua cara menyapa.
Kau dengan logikamu yang teguh,
aku dengan hatiku yang rapuh.
Kau sibuk membenarkan logika,
aku tenggelam dalam rasa.
Di layar kita saling bicara,
tapi tak pernah benar-benar mendengar.
Kau berkata: aku keras kepala.
Aku membalas: kau tak mau mengalah.
Kita pun membangun tembok tinggi,
dan menyebutnya “harga diri.”
Kini aku mencintaimu dalam luka,
bukan karena cinta tak ada,
tapi karena cinta kalah oleh suara,
yang ingin selalu benar, tak mau menerima.
Kini aku mencintaimu dari jauh,
bukan lagi sebagai kekasih,
tapi sebagai pelajaran paling pilu,
tentang bagaimana cinta bisa kalah,
bila dua hati tak mau menunduk lebih dulu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI