Mohon tunggu...
Marga Rizaldi
Marga Rizaldi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

NKRI Bukan Harga Mati

31 Juli 2017   11:23 Diperbarui: 31 Juli 2017   12:39 1211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Anda pilih mana:

  • Punya wilayah besar yang menyengsarakan, atau punya wilayah kecil yang memberi kemakmuran?
  • Memiliki sesuatu yang hanya bisa dibanggakan, atau memiliki sesuatu yang bisa dimanfaatkan?
  • Bertahan dengan sejarah indah, atau berubah untuk masa depan lebih baik?
  • Teguh dengan sistem sempurna yang tak bisa diterapkan, atau beralih ke sistem biasa yang dapat diandalkan?

Lalu:

Apa manfaat KELUASAN dan KEBERAGAMAN negara ini selain "KAMI BANGGA MEMILIKINYA"??

Dan kalaupun:

"KAMI BANGGA KARENA LUAS", kenapa hanya bersesakan di beberapa tempat saja?? Kenapa sisanya tak diurusi??

"KAMI BANGGA KARENA BERAGAM", kenapa tidak bisa menerima perbedaan?? Jangankan berbeda suku & agama, berbeda pendapat saja sudah saling bermusuhan!

Buat apa BANGGA KARENA LUAS? Jika itu hanya menjadi kolam surga yang luar biasa luas bagi para koruptor!


Buat apa BANGGA KARENA BERAGAM? Jika itu hanya menjadi sumber-sumber pertikaian!

Jika NASIONALISME yang sudah diajarkan sejak ingus masih menetes tidak lagi ada gunanya, sudahlah hapus saja!

Jika PATRIOTISME yang dicontohkan dengan darah yang menetes dianggap tak sepenting agama-isme, daerah-isme dan suku-isme, sudahlah bubarkan saja!

Bukankah PRIORITAS = HIDUP dulu, lalu NYAMAN, lalu BAHAGIA, baru BERBANGGA dengan segala tetek-bengek yang dimiliki??

Jika prioritas yang saya tulis sudah benar, maka:

Buat apa bangga dengan luas dan ragam kalau hidup tidak nyaman dan kurang bahagia?

Toh...

Siapa sih yang akan mencaci kalau kita tidak lagi luas dan beragam?  Siapa sih yang akan menghujat kalau kita berubah idealisme? Siapa pula di jaman ini yang memandang rendah negara sekecil Singapura, atau negara sehomogen Jepang, atau negara seliberal Amerika, atau bahkan negara sekomunis Rusia?

Bukankah lebih (dan SANGAT!) memalukan bila hanya bermodal bangga, bangga, dan bangga tanpa kesejahteraannyata, tanpa prestasikonkret, dan tanpa capaian-capaian logis lainnya?!

Martabat bangsa, saat ini tidak lagi diukur dari kuantitas, tapi KUALITAS! Kalau masih saja bangga dengan frasa ratusan juta jiwa, ribuan pulau, ratusan suku, negeri khatulistiwa di antara 2 benua dan 2 samudera, tanah surga di mana tongkat kayu dan batu jadi tanaman,dan lain sebagainya, bagi saya itu semua tak lebih dari kebanggaan pelipur lara, lumayan lah dari pada tidak ada.

Apakah anda tidak jenuh dengan berbagai kolom yang memprotes kebijakan dan perundang-undangan, mengkritisi penerapan hukum yang katanya tajam ke bawah tumpul ke atas, kemudian tentang kemiskinan di atas negeri yang kaya raya, hingga artikel koplakyang mengobok-obok konspirasi hantu PKI, kapitalisme, sekulerisme, dan pada puncak ke-koplak-annya tentang teori bumi datar yang dibumbui elit global sebagai dalangnya?

Jika kita mau open-minded untuk keluar dari doktrin tentang "NKRI Harga Mati" -yang bagi saya justru mengorbankan kesejahteraan rakyatnya, maka ada cukup banyak alasan untuk melepas ikatan-ikatan yang nampaknya selalu berkhianat atas keyakinan yang kita pelihara. Bukankah esensi berdirinya sebuah negara adalah untuk kesejahteraan rakyatnya? Jika tujuan itu tak kunjung tercapai, apakah salah untuk membuat perubahan? Apakah dosa? Apakah Tuhan melarang? Jika Tuhan tidak melarang, kenapa anda berani melarang?

Jika perubahan itu berjalan diiringi rasa kemanusiaan yang adil dan beradab yang sejati, percayalah perubahan itu bukanlah sebuah musibah, bukan sebuah keruntuhan, bukan pula perang saudara, melainkan bangkitnya kesadaran logika atas kenyataan yang telah jauh dari asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sejujurnya tidak ada yang memimpikan adanya suatu perpecahan, termasuk saya. Namun apa bisa dikata bila politik dan kekuasaan sentralis hanya berfungsi untuk menyedot triliunan kekayaan daerah-daerah potensial, HANYA untuk kepentingan "INDONESIA"?

Belum cukupkah dosa pemerintah pusat yang sejak era-era terdahulu telah sukses menjual ladang emas Papua, menjarah kekayaan laut Sulawesi, menguras minyak dan batubara Kalimantan, menggunduli hutan-hutan Sumatera, hingga menikmati suplai uang dari popularitas Bali atau Nusa Tenggara!

Sebuah penjajahan nyata yang tidak pernah (ingin) kita sadari. Sejak jaman Soekarno hingga Jokowi, suara-suara sumbang yang menuntut kemerdekaan hakiki selalu dilibas habis oleh kekuatan militer dengan dalih menjaga keutuhan NKRI, tanpa ada empati dan upaya pencarian akar masalah yang melatarbelakangi gerakan-gerakan "terkutuk" tersebut. Dan kita pada akhirnya bertepuk tangan, memberi penghormatan tinggi atas hancurnya harapan orang-orang yang sadar akan masa depan anak-cucunya. Dengan riuhnya kita memberikan apresiasi luar biasa kepada para pasukan yang senantiasa menjaga mimpi kita untuk terus bergandeng tangan dalam penderitaan atas nama NKRI! Yang kemudian kembali memunculkan tanya: Dapat apa kamu dari NKRI?

Selain rasa bangga, adakah alasan lain yang cukup logis yang melatarbelakangi anda untuk tetap bernama Indonesia?


Saya yakin bahwa akan ada (dan tidak sedikit) yang menghujat pendapat atau pemikiran semacam ini, mulai dari komentator-komentator anarkis tanpa identitas hingga cendekiawan dan profesor nasionalis yang berkapasitas, selalu saja membantah dengan berbagai argumen yang selalu berakhir di satu kata ajaib: "BANGGA!" untuk mempertahankan ideologi. Benar tidak? Apapun itu, entah mereka mengistilahkan suara orang-orang seperti saya sebagai benih-benih separatisme, pemecah-belah bangsa, atau bahkan cikal bakal terorisme, namun tetap saja pada intinya mereka hanya mencela, tanpa menawarkan solusi. Benar tidak?

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya!

Tentu saja, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, tetapi apakah dengan itu lantas kita tidak menghargai masa depan kita sendiri? Memang benar menghargai jasa para pahlawan ialah dengan cara mempertahankan apa yang sudah mereka perjuangkan dan melanjutkan apa yang mereka cita-citakan. Lantas apakah kita sudah mempertahankan dan melanjutkan? Secara kasat mata memang sudah, yaitu menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan atas nama Indonesia. Namun ada tujuan yang lebih esensial dari perjuangan itu yang seolah kita lupakan, yaitu KESEJAHTERAAN.

Tidakkah anda berfikir bahwa para pahlawan yang berjuang dengan segenap jiwa raga muncul karena adanya ketidaksejahteraan? Jika demikian mengapa orang-orang yang saat ini bergerilya berjuang untuk kesejahteraan dengan jiwa dan raga justru disebut pengkhianat? Bukankah mereka calon-calon pahlawan bagi "bangsa mereka" nantinya? Dan apakah anda benar-benar berfikir bahwa para pahlawan berjuang dengan darah dan nyawa HANYA GARA-GARA TIDAK BANGGA BERNAMA HINDIA BELANDA?

Jika anda hidup di masa itu, tentu masa bodoh dengan titel dan kebanggaan, masa bodoh dengan kedaulatan politik, masa bodoh dengan pancasila, masa bodoh dengan identitas bangsa, masa bodoh dengan khatulistiwa, masa bodoh dengan warna bendera, masa bodoh dengan bentuk pemerintahan, masa bodoh dengan klaim-klaim budaya oleh negeri jiran, serta urusan-urusan "sekunder" lainnya. Mereka hanya peduli pada urusan "primer" mereka: mengusir orang-orang asing yang berbuat keji dan dzalim! Tidak lain dan tidak bukan demi sesuatu bernama KESEJAHTERAAN, agar dapat hidup dengan nyaman dan bahagia.

Seandainya kesejahteraan pada saat masa pendudukan sudah didapatkan, percayalah tidak akan ada yang berperang melawan Portugis atau Belanda pada saat itu. Hal ini diindikasikan dengan disambutnya awal kedatangan Jepang oleh bangsa Indonesia, yang berpikir bahwa Jepang akan memberikan KESEJAHTERAAN, sekali lagi masa bodoh dengan urusan-urusan "sekunder" tadi, yang penting adalah SEJAHTERA. Jika waktu itu bangsa ini terlalu peduli dengan urusan-urusan "sekunder" tadi, tentu tidak akan ada sambutan untuk Jepang bukan?

Demi tujuan kesejahteraan itulah para pahlawan berjuang bersama mengangkat senjata, untuk tujuan kesejahteraan itulah para pemuda bersatu di bawah sumpah pemuda, untuk tujuan kesejahteraan itulah para organisatoris mendirikan berbagai kelompok perlawanan. Pada akhirnya, atas rasa senasib sepenanggungan, berbagai daerah menyatukan diri dalam satu kesatuan untuk melawan bangsa-bangsa penjajah dan akhirnya menang.

Meskipun, sepertinya ada fakta yang ingin kitaabaikan bahwa kemerdekaan ini secara tidak langsungadalah hadiah dari Amerika Serikat dengan bom atom-nya.Apakah anda yakin bung Karno bisa berproklamasi seandainya Jepang tidak hancur di PD II?

Mengapa tinggi sekali "harga diri" bangsa ini? Apakah memang karakter bangsa ini untuk selalu "meninggikan harga dirinya semaunya sendiri"???

Lalu apakah saya salah kalau mengatakan proklamasi merupakan buah keberhasilan dari upaya curi-curi kesempatan? Ya kalau salah saya minta maaf, saya yakin sebagian dari anda juga mempertanyakan itu cuma takut dicap ndak sopan kan? Ndak apa-apa biar saya saja yang dicap ndak sopan atau bodoh dan sebagainya. Saya harap yang pinter berkenan menjelaskan biar ndak salah paham lagi. Saya yakin kok yang pinter ndak akan emosi apalagi lapor-lapor, wong saya cuma nanya ya masak mau dipenjara ya mas Kaesang ya? Ooo ndes... ups maaf.

Whatever was that, saya tetap setuju untuk tidak mengurangi nilai-nilai perjuangan para pahlawan! Tidak ada yang salah juga dengan curi-curi kesempatan proklamasi itu, itu adalah strategi jitu sehingga tak perlu malu untuk mengakui apalagi tersinggung. Dan sang Proklamator bersama tokoh-tokoh kemerdekaan lainnya tetaplah para pejuang yang hebat dan cerdas!

Saat ini Indonesia telah memiliki kedaulatan bernama resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia, lalu apakah tujuan para pahlawan sudah tercapai? Apakah kita lupa dengan tujuan tertinggi mereka sehingga kita terlalu stagnant pada capaian mereka? Sepertinya kita sudah tahu kokkalau saat ini kita tetap harus berjuang untuk lebih dan lebih sejahtera, untuk itulah negeri ini terus berbenah.

Namun akibat sedikit kesalah-kaprahan dalam memahami perjuangan para pahlawan tadi, kita jadi terlalu takut untuk mengoreksi apa yang telah mereka wariskan. Seakan mereka mewariskan pusaka dengan seperangkat syarat dan pantangan yang berlaku selamanya, tak ada yang boleh melanggarnya. Seolah jika Indonesia tidak lagi Indonesia maka rakyatnya pasti terkutuk pasti tidak sejahtera, seolah jika satu pulau melepaskan diri maka penghuninya akan sekumpulan orang-orang penghianat yang tidak tahu diuntung, seolah jika sebuah provinsi ingin menjadi negara sendiri, maka cita-cita pendiri bangsa ini sudah otomatis musnah. Padahal jika kita mau berpikir jernih, keluar dari belenggu doktrin dan fanatisme, tentu kita lebih mengedepankan asas pengertian terhadap mereka yang merasa dirugikan ketimbang meninggikan ego untuk HANYA berbangga menjadi negara yang blah blah blah itu.

Mempertahankan ketidaksejahteraan dengan alibi menghargai jasa para pahlawan inilah yang justru menciderai perjuangan luhur mereka! Mereka tidak berjuang untuk menjadi beban moral di masa mendatang! Mereka berjuang agar dapat hidup lebih baik, bukan untuk memaksa seluruh rakyat Sabang - Merauke terikat selamanya di bawah satu nama Indonesia!

Jika di kemudian hari Indonesia tak lagi mampu menjamin kesejahteraan, saya yakin mereka membebaskan kita untuk mencari dan menentukan masa depan sendiri.

Well, jika kita konsisten dengan tujuan ketimbang warisan, maka tidak perlu lagi ada phobia akan perubahan. Jika kita konsisten pada tujuan para pendahulu yaitu hidup sejahtera, maka warisan mereka berupa Indonesia bukanlah sebidang lahan padi yang selamanya harus ditanami padi.

Lalu bagaimana dengan Sumpah Pemuda? Bukankah jika sudah bersumpah maka selamanya harus dipegang? Jika tidak maka...

Tuhan maha tahu. Dia tahu bahwa sumpah pemuda tak seharusnya dijadikan jebakan batmandari generasi ke generasi. Paling tidak biarlah seorang anak tumbuh dewasa dan bisa mengambil keputusan barulah dia menyatakan sumpah-sumpah dalam hidupnya. Lagipula, ada kalanya sumpah seseorang terpaksa tidak bisa ditepati manakala keadaan tidak lagi sesuai harapan, dan Tuhan mengerti itu. Lagipula, berapa banyak sih pemuda yang bersungguh-sungguh dengan sumpah ini? Jadi?

Kembali ke laptop!

Apakah anda tidak rela melihat rakyat Aceh bersujud syukur karena cita-cita mereka untuk memiliki negeri yang Islami tercapai? Atau anda risih melihat warga Yogyakarta dapat bebas melakukan ritual dengan mengenakan pakaian adat yang sedikit terbuka tanpa gunjingan dari oknum-oknum agama tertentu? Anda tidak terima Papua menikmati ladang emasnya sendiri? Anda takut dengan berdirinya negara sekaya Brunei Darussalam namun seluas Kalimantan? Atau mungkin anda kepanasan seandainya melihat Bali menjadi lebih terkenal dari Maldives dan Hawaii?

Mungkin sebagian dari anda akan mengingatkan akan kegagalan Timor Leste pasca keluar dari RI. Secara fair saya setuju itu bisa jadi pertimbangan untuk tetap berhati-hati, namun saya kurang setuju bila itu kemudian menjadi stereotip. Ada persiapan yang sangat kurang dalam pendirian negara tersebut, dan yang lebih buruk: nampaknya menjadi tunggangan politik pihak-pihak tertentu. Dan ironisnya, warga Indonesia lalu mengekspos dan seolah menertawakan kegagalan mereka, alih-alih memberikan dukungan atau bantuan. Itulah tabiat bangsa ini, selalu membenci mantan dan menyukai kegagalan mantan.

Maaf jika tulisan saya membuat anda marah, tapi inilah suara hati. Saya tidak akan congkak dengan mengatasnamakan suara hati rakyat Papua atau Maluku atau siapapun itu, cukuplah ini suara hati saya pribadi. Jika memang negeri ini menjunjung tinggi asas demokrasi, tentu pendapat-pendapat seperti ini tak seharusnya ditakutkan atau dikhawatirkan. Dan ini tentu bukan hal baru, mengingat beberapa tokoh bangsa dan pakar tatanegara termasuk bung Hatta sendiri pernah mewacanakan langkah-langkah semacam ini, mulai perubahan negara ke arah federasi hingga pemisahan menjadi negara-negara kecil yang merdeka dan berdaulat.

Lagipula untuk apa anda marah? Wilayah kekuasaan politik anda berkurang? Praktik suap anda semakin rumit dan mahal? Potensi pendapatan korupsi anda menurun? Peluang penggelapan pajak anda semakin menipis? Atau potensi eksploitasi di bisnis anda menjadi tersekat? Ya saya positive-thinkingsaja, anda pasti bukan termasuk golongan-golongan tersebut.

Lalu karena anda bukan termasuk golongan-golongan yang terancam tersebut, untuk apa anda marah? Saya kira bisnis dan perdagangan anda justru akan semakin barokah karena lebih berkontribusi ke setiap wilayah. Malah anda bisa sedikit bersantai di kota anda, karena jumlah penduduk dan kendaraan lebih terkendali. Dan jika anda seorang guru atau orang tua, sepertinya tak perlu lagi dipusingkan dengan buah simalakama bernama UAN atau kurikulum yang nggak cocok-cocok. Jadi buat apa anda marah?

Tidak ada upaya memperkeruh keadaan apalagi menyulut pemberontakan, TIDAK ADA! Karena sejatinya orang tidak akan memberontak saat dirinya tidak merasa ditindas, dan karena bukan saya yang menindas, maka urusan bukan dengan saya! Pun saya lebih mengharapkan langkah-langkah musyawarah yang penuh semangat keadilan dari pada kekerasan yang terlalu bodoh untuk dilakukan.

Lagipula...

Tidak perlu menentang pemikiran dengan emosi, hukuman, Undang-Undang, apalagi senjata. Tantanglah pemikiran dengan pemikiran, karena itulah fungsi tertinggi otak manusia.

Lagipula...

Saya tidak sedang bercita-cita atau berangan-angan negeri tercinta ini musnah sepenuhnya dari peta dunia. Secara jujur saya hanya mempertanyakan apakah sistem yang kita gunakan selama ini sudah tepat? Apakah merekonstruksi Negara Kesatuan Republik menjadi sebuah negara perserikatan atau sebuah negara federal bisa menjadi solusi? Atau...menjadi negara dengan faksi-faksi seperti dalam film Divergent? Atau... tetap keukeuh dengan kebanggaan dan kehormatan kita sebagai anu itu? Well let's see!

Sekian.

Nb: Jika ada yang minta data-data statistik, kutipan dari para pakar atau fakta-fakta yang mendukung semua pandangan saya, silakan tanya Prof. Dr. Google, sepertinya dia lebih paham.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun