Mohon tunggu...
Aba Mardjani
Aba Mardjani Mohon Tunggu... Editor - Asli Betawi

Wartawan Olahraga, Kadang Menulis Cerpen, Tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Istri

2 Desember 2018   21:54 Diperbarui: 2 Desember 2018   22:28 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

[Bagian 2]

Setelah pertemuan tak terduga itu, kami, aku dan Mas Rama, tak pernah lagi bertemu. Aku juga tak berusaha mencari tahu di mana ia berada, apa kegiatannya. Aku juga sibuk dengan kegiatanku sebagai pelatih karate di samping juga berguru kepada sempai-sempai seniorku.

Karena itu aku sangat terkejut ketika menjumpai Mas Rama untuk yang kedua kalinya di Gedung Basket Senayan tiga bulan berikutnya. Saat itu aku tengah mendampingi murid-muridku mengikuti Kejuaraan Daerah Piala Gubernur DKI Jakarta.

Mas Rama yang memanggilku dari kursi penonton. Aku menoleh dan mendapatkan sosoknya duduk di antara penonton yang memadati Gedung Basket.

Ia melompat turun dan mengikutiku ke ruang ganti.

"Tak sulit ternyata mencarimu," katanya ketika kami melangkah berjejeran.

"Kok tahu sekarang ada kejuaraan?"

"Berita karate tak pernah kulewatkan."

Mas Rama menonton pertandingan sampai selesai sekitar pukul sembilan malam. Ia kemudian mengajakku makan bakso di depan stadion.

"Nggak risih makan bakso pinggiran, Mas?"

"Kalau bersama Ririen, makan dimana pun aku nggak risih, nggak sungkan."

"Gombal."

Setelah bertukar nomor telepon, kami berpisah. Aku pulang bersama murid-muridku ke asrama para atlet di sebuah rumah yang disediakan sempai Adnan. Letaknya tak begitu jauh dari stadion. Selain itu, menurut Mas Adnan, jika terus bersama-sama selama mengikuti kejuaraan, kami bisa langsung mengoreksi hasil pertandingan yang sudah kami jalani, baik untuk yang kalah maupun yang menang dan melanjutkan ke pertandingan babak berikutnya.

Pada hari kedua pertandingan, Mas Rama mengabarkan kepadaku melalui WA, ia tak bisa hadir dan minta maaf karena harus mengikuti rapat di kantornya. Ia kini duduk sebagai salah satu direktur di salah satu perusahaan milik ayahnnya. Kubilang tak masalah karena ia memang tak harus selalu hadir.

Sejauh ini, aku belum bertanya dan mungkin takkan bertanya mengenai hal-hal pribadi tentang dirinya. Misalnya ia sudah punya pacar atau belum. Sudah bertunangan atau belum. Aku tak ingin terkesan punya harapan tertentu kepadanya. Aku ingin semuanya berjalan secara alamiah saja.

Pada hari kedua itu, di sela-sela istirahat pertandingan, aku keluar stadion untuk mencari minuman dingin.

Tiba-tiba seorang wanita muda berdiri di hadapanku. Ia menatapiku dengan mata penuh kebencian.

"Kamu Ririen, kan?"

"Betul. Ada apa ya?"

Ia mendengus.

"Aku Yosi," ia menyebutkan namanya tanpa kumita. "Aku ke sini dengan meluangkan waktuku yang sangat berharga untuk mengingatkanmu."

"Soal apa ini?"

Ia mendengus lagi. Sepertinya menahan amarah. "Nggak usah pura-pura!"

"Aku tidak mengerti kamu ngomong soal apa," aku masih mempertahankan nada suaraku.

"Soal Rama, Pak Rama."

Aku mulai memahami ke mana arah pembicaraan perempuan ini.

"Kamu kenal, kan?"

"Iya. Aku kenal."

"Nah, kuingatkan, mulai hari ini, jangan pernah lagi berhubungan dengan dia. Pak Rama itu calon suami aku. Dia sudah jadi tunangan aku."

Aku mencoba tersenyum. Jadi Mas Rama sudah punya tunangan, atau setidaknya punya seorang pacar. Atau perempuan yang mengaku pacarnya. Cantik juga. Kutaksir tingginya sekitar 170cm. Tak terlalu tinggi dibandingkan aku yang 168cm. Rambutnya hitam berkilau. Mungkin karena perawatan yang telaten dan teratur. Mukanya bersih. Juga terawat. Tak ada jerawat.

"Aku tidak pernah meminta Mas Rama datang kemari kemarin. Dia datang sendiri. Jadi, salah jika kamu mengingatkan aku karena aku tidak bisa melarang siapa pun datang ke sini."

"Kamu pinter ngomong ya?" ujarnya sengit.

"Aku bicara apa adanya."

"Inget ya, kamu itu nggak sepadan dengan Pak Rama. Dia orang kaya, lulusan sekolah luar negeri, sekarang direktur sebuah perusahaan besar. Kamu? Kamu pikir kamu siapa?"

Aku tersenyum. Aku senang meladeni orang jika bicaranya membanding-bandingkan orang, mengukur orang lain dengan apa yang dimilikinya dan apa yang tidak dimilikinya, memandang orang lain dengan statusnya.

"Lalu kamu siapa? Anak konglomerat, lulusan luar negeri yang sangat sepadan dengan Mas Rama?" aku menatap matanya.

"Jelas aku wanita yang pantas mendampingi Pak Rama. Aku kaya. Orang tuaku kaya, sekolah juga di luar negeri. Kamu?"

Aku tersenyum lagi. Emosi Yosi nampaknya makin terbakar.

"Tapi, kamu kelihatannya tidak cukup cerdas untuk bisa berdampingingan dengan Mas Rama. Kurasa Mas Rama perlu memilih dan memilah wanita seperti apa yang kelak akan jadi istrinya."

"Sudah pasti aku yang paling pantas. Apalagi jika saingan aku cuma wanita seperti kamu."

Dari kejauhan Mas Adnan menatapku. Mungkin menerka-nerka apa yang sedang terjadi antara aku dan wanita di hadapanku. Aku mengangkat tangan kepadanya, memberi tanda supaya ia tidak mendekat.

"Kamu terlalu tinggi menilai dirimu," kataku sengaja membakar emosinya. Aku ingin tahu seberapa beraninya ia berhadapan dengan aku.

"Kamu memang tidak bisa dikasih tahu ya!" katanya seraya melayangkan pukulannya ke wajahku. Aku tak mengelak, tapi kutangkap tangannya dan kucekal dengan keras. Ia menjerit kesakitan dan coba menarik tangannya.

"Awas kamu ya, perempuan kampung!" ia meninggalkanku dengan tergesa-gesa. Menuju mobilnya berwarna merah. Ia pergi terburu-buru. Aku memandanginya dengan senyuman.

"Siapa tadi, sempai Ririen?" Adila tahu-tahu sudah berdiri di sisiku. (BERSAMBUNG)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun