Mohon tunggu...
Aba Mardjani
Aba Mardjani Mohon Tunggu... Editor - Asli Betawi

Wartawan Olahraga, Kadang Menulis Cerpen, Tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Sketsa

5 November 2017   00:32 Diperbarui: 5 November 2017   03:45 1847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi alat lukis | Foto: Pixabay/bodobe

Sebelum menyapukan kuasnya, Baroto memandangi sketsanya. Ia merasakan ada kedamaian menelusup ke dalam relung hatinya, seperti gerimis yang membasahi dan meresap ke dalam pori-pori tanah dan memberinya kelembaban.

Namun, ketika tangannya mulai bergerak, ia merasa seperti ada bisikan di telinganya. Tak jelas suaranya. Tapi, Baroto kemudian merasakan semangatnya hilang. Ia tak cukup punya adrenalin untuk melanjutkan pekerjaannya. Ia seperti tak ingin menggerakkan sendi-sendi tubuhnya.

Ruangan itu pun sunyi. Baroto duduk terdiam. Tafakur serupa patung. Tak bergerak seperti benda-benda lain di ruangan itu. Tak terdengar suara apapun kecuali desing mesin pendingin. Ketika kemudian ia tersadar, ia melihat cat-cat minyak yang sudah disiapkannya nyaris mengering.

Agak tertatih Baroto menuju kursi sekira dua meter di belakangnya. Ia menjatuhkan seluruh bobot tubuhnya di sana. Dengan kedua tangan di dagu, ia kembali menancapkan pandangannya pada sketsa lukisan di hadapannya. Kembali ia tersuruk dalam diam. Membiarkan sepi menyergapnya.

Lama kelamaan Baroto merasa tatapannya mendapat balasan dari kedua mata pada sketsa lukisan itu. Baroto tercekat, tercekam dalam keasyikannya.

 "Apa kabarmu, Yul?" Baroto membisikkan kata itu dalam hatinya. Meluncur begitu saja. "Apakah kau bahagia di sana? Apakah kau merindukan aku seperti aku merindukanmu? Adakah kau hadir di sini saat ini?"

Baroto melihat ada sungging senyum pada sketsa lukisan itu. Senyum itu juga yang membuat Baroto jatuh cinta pada pertemuan pertama mereka di sebuah acara pameran lukisan entah berapa puluh tahun lalu.

 "Oh, Anda pelukisnya? Anda Mas Baroto? Saya pengagum lukisan-lukisan Mas," kata perempuan yang kemudian menyebut namanya, Yulianti, ketika itu.

 "Terima kasih, terima kasih," sahut Baroto tanpa melepas genggaman tangan perempuan itu. "Sayang..."

 "Sayang? Sayang kenapa, Mas?"

 "Anda cuma pengagum lukisan saya. Bukan mengagumi pelukisnya," Baroto tertawa lepas, tanpa peduli dengan orang-orang yang ada di sekitar mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun