Mohon tunggu...
Aba Mardjani
Aba Mardjani Mohon Tunggu... Editor - Asli Betawi

Wartawan Olahraga, Kadang Menulis Cerpen, Tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Sketsa

5 November 2017   00:32 Diperbarui: 5 November 2017   03:45 1847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi alat lukis | Foto: Pixabay/bodobe

Perempuan itu juga tertawa. Sedikit tertahan. Sedikit tersipu. "Maaf lho, Mas. Kan kita belum saling kenal, saya belum pernah lihat orangnya seperti apa gitu."

"Sekarang sudah lihat, sudah jumpa. Suka nggak?"

 "Ah, Mas bisa saja," perempuan itu makin tersipu oleh serangan menukik Baroto.

 "Suka nggak?" Baroto mengejar wanita semampai itu. Ia seperti tak ingin kehilangan kesempatan ketika ada seorang perempuan cantik, tinggi sekitar170cm, dan kulitnya bersih sangat terawat, mengaku menyukai lukisan-lukisannya.

 "Rasanya...rasanya saya nggak punya alasan untuk nggak suka," perempuan itu menjawab. Wajahnya agak memerah.

 "Sudah punya pacar? Atau sudah menikah? Bagaimana kalau kita..."


Perempuan itu melanjutkan tawa sembari menyembunyikan gigi-gigi putihnya. Namun ia tak mampu menyembunyikan paras cantiknya dari warna kemerahan.

Sejak saat itu mereka berkawan. Lalu berpacaran. Dan akhirnya menikah. Namun, perkawinan itu tak memberi mereka keturunan. Sampai ajal merenggut nyawa Yulianti, mereka tak kunjung memiliki anak. Maka kepergian Yulianti benar-benar jadi palu mematikan bagi Baroto. Ia tak punya sesiapa lagi. Ia tak punya anak sebagai tempat berbagi suka dan duka atau bercengkerama. Baroto merasa hidupnya di awang-awang.

Air matanya menetes. Mendadak ia merasa kembali ingin menangis. Sejak menangisi kepergian Yulianti tujuh tahun lalu, Baroto belum pernah menangis lagi. Kenangan-kenangan indah yang kerap melintas dalam benaknya, tak pernah membuatnya sampai melinangkan air mata. Ia merasa tak ada gunanya lagi menangis karena yang sudah pergi takkan pernah bisa kembali. Kematian datang kepada siapa saja secara bergiliran. Suatu saat, ia pun akan mati, menyusul istrinya.

Baroto menyeka air matanya. Namun, pada saat yang sama, ia juga seperti mendapatkan mata yang basah pada sketsa lukisannya. Baroto tercekat. Benarkah ia juga menangis? Baroto bertanya dalam hati. Tanpa sadar, Baroto mendekati sketsa lukisannya. Ia benar-benar menemukan kedua mata yang basah seperti menyimpan air mata yang siap meleleh. Sesaat kemudian Baroto berlutut dan menggerungkan tangisnya. Ia tak mampu lagi menahan isak. Ia benar-benar ingin menangis sejadi-jadinya.

Lama Baroto tenggelam dalam dukanya. Ketika ia tersadar, pelan-pelan ia menggoreskan kuasnya pada bagian kedua pipi sketsanya. Juga bagian dagu. Setelah itu, ia benar-benar melihat potret Yulianti. Berdiri menatapnya dengan air mata tertahan di kedua retinanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun