Mohon tunggu...
Mardi Sirait
Mardi Sirait Mohon Tunggu... Lainnya - Administer Social Justice

Menulis adalah pengabdian bagi keabadian dan menyuarakan kebenaran.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menegakkan Identitas di Tengah Disrupsi Zaman

4 Oktober 2020   15:17 Diperbarui: 4 Oktober 2020   15:22 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika kita berada di dalam generasi yang serba terhubung, tetapi kita juga harus mengakui di lain sisi, kita berada pada generasi yang kesepian dan kebingungan.

Generasi yang serba eksis, tetapi sekaligus kehilangan akan identitas dan jati diri yang sebenarnya.Tak jarang mereka merasa hampa, karena mengisi diri dengan kekosongan.

Sehingga, sangat candu atas apresiasi-perhatian orang lain, terlebih ditengah era digital dan media sosial, tak sedikit kita berburu perhatian orang lain melalui moticon -Jempol, Like yang diterima. Ironisnya, kita menempatkan identitas, kebernilaian kita di dalam hal demikian. Kita memasuki abad pembiusan; terdisrupsi, hampa-kosong dan candu.

Abad dimana mengagungkan kebebasan, tetapi tidak sadar telah masuk dalam jerat ketidakmerdekaan dari kebebasan itu sendiri. Menyangka dengan kebebasan bisa melakukan semua hal, justru kebebasan demikian tidak memberikan kemerdekaan itu sendiri.

Imanuel Kant dalam bahasan kebebasan mempertanyakan kebebasan itu sendiri. Apa itu kebebasan? Kemerdekaan melakukan segala sesuatu? Keleluasaan mendapat apa yang diinginkan?, justru itu bukan bebas, malah terjerat pada kebebasan itu sendiri. Bebas artinya berkuasa dan mampu melakukan apa yang diinginkan dan tidak diinginkan. Itulah yang disebut kebebasan, merdeka dan berkuasa memilih atau tidak memilih sesuatu hal.

Di dalam era informasi yang pergerakan informasi sangat meluap dengan begitu derasnya, tetapi juga sekaligus kita berada pada masa yang dengan pengertian yang dangkal. Kita berada hanya pada tataran dasar sebuah informasi dan data, belum kepada tahap akhir dari sebuah informasi-data, yaitu hikmat dan kebijaksanaan.

Tak heran kita selalu reaktif dan juga 'sensi', 'baper' dan uring-uringan atas respon orang lain kepada kita. Tak jarang waktu dan pemikiran kita tergerus kepada hal-hal yang bersifat pribadi. Sehingga mendorong berkembangnya individualistik dan merosotnya semangat kebersamaan. 

Hal demikian membuat kita tidak ramah atas perbedaan, nihil "critical thinking", minim dengan empati, matinya hati yang berbelas-kasih kepada orang lain dan beringas di saat kepentingan kita terancam. Semakin lama, kita semakin mengingkari kesejatian hakikat seorang manusia, tetapi semakin lama kita semakin menyerupai sifat 'binatang'.

Generasi yang kemajuannya yang sangat muhtakhir, tetapi juga diiringi majunya egoistik dan miskin belaskasih sekaligus terjadinya disrupsi spritualitas. Kita berada pada zaman yang "EKSIS" namun "KOSONG" dan hilang IDENTITAS (kalau kita jujur merefleksikan). Tak heran di zaman yang maju ini, tak sedikit kita yang kehilangan identitas, kehilangan arah, berada dalam kekosongan, kesepian dan banyak yang bunuh diri ditengah kesuksesan manusia.

Filsafat abad 19 dan 20 menjadi warna ditengah-tengah eksistensi manusia kini. Abad yang menjadi era uji coba dari pemikiran-pemikiran filsuf sebelumnya. Telak benar yang disampaikan Sang Pengkotbah, "tidak ada yang baru dibawah kolong langit". Kita berada dalam pengaruh pemikiran mereka; dari Nietzsche, Kierkegaard dalam " Eksistensialisme", hingga 'New Age Movement' - dari "Absolut Geist (Semangat - Roh yang mutlak) ke semangat relativisme dan psikologi positive 'Sigmund Freud'_Positivisme-Logika.

Sehingga, ketika kita diperhadapkan dan dipertentangkan dengan filsafat dunia sebagai suatu wawasan dan sebuah konsep memandang dunia, maka perlawanan prinsip dari suatu sistem kehidupan tersebutlah yang perlu dipertahankan dan dikuatkan.

Sehingga yang ada adalah perlawan prinsip dengan prinsip, identitas dengan identitas.

Benarlah Kebenaran ini bahwa, "..Perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi...melawan..dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara."*

Bagaimana kita di tengah ironi yang demikian?, disaat pemikiran-filsafat dunia yang memberikan akhir yang hampa dan tidak mampu menjawab kompleksitas demikian.

Maka, kita perlu dengan yakin dan sungguh serius menegakkan keyakinan, identitas, arah, kualitas, bobot hidup kita dalam berpijak pada 'JALAN', 'KEBENARAN' dan 'HIDUP' itu, dengan niat memuliakan Sang Ilahi.

Atas disrupsi yang ada, identitas perlu dibaharui-restorasi dan pembaharuan akal budi untuk menjadi saksi bagi dunia. Kita yang hilang arah, mari kembali kepada 'JALAN' itu; kita yang tidak merdeka, mari datang kepada 'KEBENARAN' itu, hanya 'KEBENARAN' akan memerdekakan mu ('Truth will set you free'); dan kita yang mengalami kematian identitas, kekosongan, mari kembali kepada 'HIDUP' itu.

Kamu masi berdiam saja dan hidup dalam kekosongan, kematian dalam hidup, kehilangan jalan?

Mari bertekad yang sama dengan sungguh dan serius, menengguk dari sumber air yang hidup dan berdiri tegak di atas batu yang hidup dan yang tak tergoyahkan (itu). Memandang masa depan dengan tajam, penuh harapan dan menaklukkan zaman tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun