Mohon tunggu...
Marcko Ferdian
Marcko Ferdian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pencinta Monokrom dan Choir

Love what you have || Kompasianer pemula

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sawit untuk Energi atau Sawit untuk Pangan?

13 Mei 2022   05:24 Diperbarui: 18 Mei 2022   03:15 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kelapa sawit, perkebunan kelapa sawit.(sumber: SHUTTERSTOCK/litalalla via kompas.com)

Pemenuhan kebutuhan pokok dalam negeri menjadi alasan Presiden Joko Widodo memberhentikan sementara larangan ekspor minyak sawit. Hal ini dianggap genting sebab ironi jika sebagai produsen, harga minyak goreng di Indonesia terbang tinggi menyentuh langit.

Sementara itu, saat pelarangan tersebut diberlakukan, harga CPO dunia sementara naik sehingga menjadi ladang bagi perusahaan-perusahaan sawit mencoba peruntungan. Dilema, bukan?

Lebih dilema lagi jika melihat saat ini minyak sawit bukan hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan semata, tapi juga untuk kebutuhan energi hijau sehingga pemanfaatan keduanya berpotensi menyebabkan masalah.

Minyak Goreng/Sumber : akcdn.detik.net.id
Minyak Goreng/Sumber : akcdn.detik.net.id

Permintaan Sawit untuk Industri Pangan

Ketika dunia dilanda pandemi, pembatasan besar-besaran dilakukan semua negara untuk mencegah penyebaran penularan virus.

Pembatasan ini juga diterapkan untuk usaha pertanian sehingga produk minyak nabati dunia menurun, termasuk Indonesia dengan sawitnya.

Sementara turunan sawit sangat diperlukan untuk bahan minyak goreng, coklat, bumbu  mi instant dan produk non-pangan seperti detergen, sabun mandi, sampo, dan bahan make-up.

Dari semua turunan sawit untuk pangan, minyak goreng masih menjadi andalan, apalagi bagi negara-negara yang memiliki kebiasaan untuk menggoreng makanan.

Minyak goreng berbahan sawit tergolong tahan panas dibanding produk minyak nabati dari kedelai, canola atau jagung. Minyak sawit juga memiliki harga yang relatif lebih murah dibandingkan minyak nabati lainnya.

Selain itu, sawit merupakan bibit minyak yang paling produktif, sebab dalam satu hektar lahan sawit, dapat menghasilkan 5 ribu Kg minyak mentah atau hampir 6 ribu liter, dibanding kedelai dan jagung yang hanya mampu menghasilkan 446 dan 172 liter/ha.

Akan tetapi permintaan CPO untuk pangan mengalami penurunan sejak 2019, dengan penyerapannya dalam industri pangan berkisar 58 persen. Tren yang sama terjadi juga di tahun 2021 (48,4 persen) dan proyeksinya di tahun 2022 hanya pada kisaran 46 persen.

Lantas bagaimana permintaan sawit untuk kebutuhan energi?

Infografis Kebutuhan Sawit untuk Pangan dan Energi/Sumber : katadata.co.id
Infografis Kebutuhan Sawit untuk Pangan dan Energi/Sumber : katadata.co.id

Permintaan Sawit untuk Sektor Energi

Setelah dikeluarkan PP No. 79 tahun 2014, yang spesifik menargetkan peningkatan penggunaan bahan bakar nabati, sawit mulai dilirik untuk dimanfaatkan sebagai bahan campuran atau diusahakan untuk 100 persen menjadi bahan bakar.

Berbicara mengenai pemanfaatan sawit untuk bahan bakar nabati, Indonesia adalah negara pertama di dunia yang berhasil dalam energi terbarukan lewat biodiesel B30 sementara negara lain, baru sampai pada jenis B10, B12 dan B20.

Biodiesel menjadi alternatif bahan bakar ramah lingkungan sebab buangan dari mesin cenderung mengasilkan emisi yang lebih baik dibanding solar. Selain itu juga, ada klaim bahwa biodiesel memiliki pembakaran yang sempurna serta biodegradable dan non-toxic ketika lepas ke alam.

Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit menargetkan produksi biodiesel tahun 2022 mencapai 10,15 juta kiloliter. Angka tersebut jika dibandingkan dengan tahun 2021 (kisaran 9,4 juta kiloliter), terjadi peningkatan.

Tren kenaikan ini juga sejalan dengan data BPS bahwa untuk konsumsi dalam negeri, kebutuhan CPO untuk biodiesel cenderung naik setiap tahun dengan prediksi kebutuhan di tahun ini naik sekitar 42,9 persen dari pasokan dalam negeri. Lebih tinggi dari tahun 2021 yang hanya sekitar 40,1 persen (katadata.co.id).

BBN B0, B20, B30, B100/Sumber : otomotif.kompas.com
BBN B0, B20, B30, B100/Sumber : otomotif.kompas.com

Energi vs Pangan

Melihat tren permintaan antara industri pangan dan energi terhadap CPO, ada tantangan tersendiri bagi pengusaha dan petani kelapa sawit untuk menyuplai kebutuhan bahan baku.

Banyak aspek harus diperhatikan mulai dari lahan, tingkat kesuburan lahan tersebut, sampai pada pemeliharaan dan perawatan sawit untuk tetap bisa menghasilkan guna memenuhi permintaan bahan baku.

Sebab jika tidak, saling rebut dan pertarungan CPO antara industri pangan dan energi satu saat akan terjadi.

Perebutan bisa juga terjadi ketika pengusaha mengutamakan produksi CPO untuk kebutuhan bahan bakar biodiesel sebab ada insentif dari pemerintah melalui BPDPKS.

Untuk menyeimbangkan permintaan CPO bagi kebutuhan pangan serta energi, ada permintaan untuk mengurangi mandatori 30 persen dari bahan bakar B30 sehingga bisa menutupi kebutuhan minyak goreng. Tapi apakah permintaan pengurangan mandatori bisa dilakukan pemerintah ?

Permasalahan pemanfaatan CPO untuk kemandirian pangan dan energi perlu dipikirkan dengan cermat.

Berbagai langkah penting perlu diputuskan bersama baik itu pemerintah dan juga pengusaha sawit serta pihak-pihak terkait lainnya untuk mendapatkan solusi yang tepat, sebab jika abai, ada potensi kelangkaan CPO yang menanti di depan.

Referensi: [1], [2], [3]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun