Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama FEATURED

Melirik Kaitan Antara Mega, PDI-P dan Jokowi

10 Januari 2019   06:44 Diperbarui: 10 Januari 2022   06:30 1629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri berfoto bersama Presiden Jokowi| Tribunnews/Dany Permana

Megawati Soekarnoputri mengawali karier politiknya pada sekitar awal tahun delapan puluh. Putri Bung Karno itu diajak oleh Suryadi, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) untuk ikut membesarkan partai yang merupakan fusi lima partai politik itu. 

Kelima parpol yang berfusi pada 10 Januari 1973 itu ialah Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Murba dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).

Fusi kelima parpol itu tidaklah dapat disebut terlaksana secara sukarela tetapi karena merupakan keterpaksaan. Disebut keterpaksaan karena penyederhanaan parpol merupakan kebijakan pemerintahan Orde Baru. Hal itu terlihat juga pada kebijakan terhadap partai-partai yang berazaskan Islam.

Empat parpol yang berazaskan Islam yaitu, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Syarikat Islam Indonesia ( PSII) dan Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) harus berfusi ke satu wadah politik yang diberi nama Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Lima parpol yang berfusi menjadi PDI, pada pemilu 1971 masih merupakan partai peserta pemilu. Begitu juga dengan empat parpol yang berfusi menjadi PPP itu, pada pemilu 1971 masih merupakan parpol peserta pemilu 1971. Sehingga pada pemilu pertama pada masa Orde Baru itu ada 9 parpol yang bertarung ditambah Golkar. Pada masa itu Golkar tidak dikategorikan sebagai partai politik.

Tidak dapat ditampik kesan, bahwa kebijakan atau tepatnya paksaan untuk melakukan fusi partai politik itu bertujuan agar pemerintah lebih mudah mengontrol kekuatan politik yang ada. Dengan kata lain fusi juga bermaksud untuk mengerdilkan peran parpol. 

Kebijakan mengerdilkan peran parpol itu membuahkan hasil karena pemilu sesudah fusi 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 semuanya dimenangkan secara absolut oleh Golkar. 

Mengingat hampir semua sumber daya yang dikuasai oleh pemerintah ditujukan untuk memenangkan Golkar dan mengerdilkan dua parpol yang ada, sehingga masing-masing parpol harus bekerja keras dan memutar otak bagaimana caranya agar parpolnya tetap eksis .

PPP pada pemilu 1982 menorehkan catatan manis. Walaupun parpol ini kalah dalam perolehan suara nasional tapi partai ini memenangkan pertarungan di daerah yang sangat prestisius yaitu di DKI Jakarta dan Aceh.

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang juga mengalami tekanan politik, hingga harus menemukan formula baru agar popularitas partai tidak stagnan bahkan menurun. Suryadi melihat formula baru itu berada di trah Sukarno.

Sejak tahun 1966 dan sesudahnya, oleh penguasa terus dilakukan secara masif tindakan "de- Sukarnoisasi", sebuah tindakan yang menginginkan agar Proklamator itu kehilangan pengaruh politiknya di negeri ini.

Walaupun Bung Karno telah wafat pada tahun 1970 tetapi wibawanya masih terus terasa di masyarakat. Oleh karena berbagai alasan, masyarakat kembali merindukan Sukarno. 

Kerinduan terhadap Bapak Bangsa itu kemudian menemukan momentum politiknya pada trah Sukarno. Momentum itu ditandai dengan munculnya Megawati Soekarnoputri yang mengawali kariernya sebagai ketua cabang partai di salah satu wilayah di DKI Jakarta.

Pada pemilu 1987, Mega turun ikut kampanye di berbagai daerah. Kehadiran putri Bung Karno itu mendapat sambutan yang hangat di masyarakat. Lama kelamaan popularitas Mega mulai menjadi ancaman terhadap kekuasaan Orba. Berbagai operasi intelijen dilakukan untuk menghempaskan laju politik adik Guntur Soekarnoputri itu.

Kongres PDI di Medan dan juga Kongres Luar Biasa di Surabaya merupakan beberapa indikasi adanya operasi itu. Dan puncaknya tentu saja Peristiwa Dua Puluh Tujuh Juli 1996 ketika terjadi penyerbuan ke Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro Jakarta.

Secara de facto, kantor tersebut dikuasai Mega dan anggotanya yang militan. Penyerbuan ke kantor itu semakin mengukuhkan posisi Mega sebagai lambang perlawanan terhadap Orba.

Tidak sampai dua tahun sesudah peristiwa 27 Juli itu, pada Mei 1998 kekuasaan Orde Baru pun berakhir. Muncullah sebuah zaman baru yang disebut Era Reformasi yang salah satu agenda utamanya ialah melaksanakan pemilihan umum yang jujur, adil, bebas, dan rahasia.

Dengan mengusung nama PDI-Perjuangan, partai yang dipimpin Megawati Sukarnoputri itu ikut bertarung pada pemilu pertama di era reformasi tahun 1999 dan berhasil menempatkan diri sebagai peringkat pertama.

Partai ini meraup 35.689.073 suara setara dengan 33,74 persen. Walaupun keluar sebagai pemenang pemilu tetapi yang jadi Presiden adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, sementara Megawati kebagian kursi Wakil Presiden.

Pada pemilu lima tahun berikutnya, yakni tahun 2004 perolehan suara PDI-P menurun menjadi 21.026.629 atau setara dengan 18,53 persen dan berada pada peringkat kedua. Banyak analisis yang muncul mengapa pada pemilu 1999 suara partai begitu tinggi tetapi kemudian mengalami penurunan yang cukup tajam juga pada pemilu berikutnya.

Salah satu analisis itu menyebutkan bahwa pada pemilu 1999 ada 3 gambaran masyarakat terhadap partai yang dipimpin Mega ini. Pertama, Mega adalah simbol perlawanan terhadap Orde Baru karenanya sebagian pemilih yang tidak senang dengan Orba menjatuhkan pilihannya pada partai ini.

Kedua, banyak kalangan yang mengharapkan PDI-P dapat memberi perubahan yang signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, partai ini mampu mempersonifikasi dirinya sebagai partai "wong cilik" atau juga disebut partainya pemakai "sandal jepit".

Selanjutnya pada pemilu 2009, perolehan suara partai semakin melorot. Suara yang diraih 14.600,091 atau 14,03 persen sehingga menempatkan partai pada peringkat ketiga. Peringkat pertama dan kedua ditempati oleh Demokrat dan Golkar.

Menjelang pemilu 2014, mengemuka tanda tanya bagaimana posisi partai pada pemilu keempat pada era reformasi itu. Ada kekhawatiran suara partai semakin melorot mengingat sebelumnya ada tren penurunan pada tiga kali pemilu.

Ditengah tanda tanya yang demikian pada 2012 telah muncul seorang superstar politik baru yang memenangkan pertarungan demokrasi di DKI Jakarta. Joko Widodo yang pada awalnya dianggap hanya politisi lokal pada tingkat Solo dan Jawa Tengah telah mencuat namanya pada kancah perpolitikan tingkat nasional. 

Tidak banyak orang yang menduga bahwa lelaki "kurus dan kerempeng" itu mampu mengakhiri kekuasaan Fauzi Bowo di DKI Jakarta. Dengan kemenangan itu, Joko Widodo telah menjelma sebagai tokoh potensial sebagai pemimpin baru Indonesia.

Sekitar satu tengah tahun bersama Basuki Tjahaja Purnama memimpin Jakarta, beberapa hasil survei menunjukkan peluang Joko Widodo sebagai Presiden semakin menguat.

Melejitnya nama mantan Wali Kota Solo ini menimbulkan sebuah pertanyaan, bagaimana posisi Megawati pada Pilpres 2014 mengingat masih banyak kalangan yang berkeinginan agar putri Bung Karno itu ikut lagi bertarung pada Pilpres 2014.

Oleh karena berbagai lembaga survei menyebut peluang Joko Widodo untuk menjadi presiden lebih besar dari peluang Megawati maka Presiden ke-5 itu harus cepat mengambil keputusan. Tentunya setelah mengadakan perhitungan politik yang cukup matang, Mega pun bertitah bahwa calon PDI-P untuk Presiden RI pada Pilpres 2014 ialah Joko Widodo.

Saya menilai keputusan Ketua Umum PDI- P ini termasuk luar biasa. Megawati bukanlah anak kemarin sore di politik. Ia telah malang melintang melewati suka dukanya hidup dalam dunia politik. Ia telah mengenyam kekuasaan sebagai Wakil Presiden dan kemudian jadi Presiden.

Mega dua kali gagal memenangkan pertarungan melawan SBY tetapi pada Pilpres 2014, seorang Jenderal kelahiran Pacitan itu tidak boleh lagi ikut bertarung. Di atas kertas lawan potensial Mega hanyalah Prabowo Subianto yang pernah berpasangan dengannya pada Pilpres sebelumnya.

Tetapi untuk kepentingan yang lebih besar, putri Bung Karno itu mampu menyingkirkan keinginan pribadinya dan menyerahkan kesempatan itu kepada Joko Widodo, kader partainya sejak berkiprah di Solo.

Pada masa itu juga mengemuka pendapat kalau Joko Widodo yang diusung PDI-P sebagai Presiden, maka perolehan suara partai pada pemilu akan meningkat. Peningkatan suara itu disebut karena adanya "Jokowi Effect".

Nyatanya memang hasil pemilu 2014 menunjukkan bahwa partai pimpinan putri Bung Karno itu meningkat dan menempatkannya kembali pada peringkat pertama pemenang pemilu. PDI-P meraup suara pemilih 23.681.471 atau setara dengan 18, 95 persen dan menghasilkan 109 kursi di DPR RI atau 19,46 persen dari jumlah kursi parlemen. 

Kemenangan pada pemilu legislatif itu semakin menumbuhkan rasa percaya diri bagi PDI-P untuk memenangkan Jokowi pada Pilpres. PDI-P berkoalisi dengan PKB, Hanura, Nasdem dan PKPI mengusung pasangan Joko Widod -Jusuf Kalla pada Pilpres 2014.

Sesudah kemenangan itu, PDI-P mengakhiri puasanya yang selama sepuluh tahun berada di luar pemerintahan. Dari hal-hal yang demikian terlihatlah eratnya kaitan antara Mega, PDI-P dan Jokowi. 

Hari ini pada ulang tahun PDIP yang ke-46, keterkaitan yang demikian masih terasa menyejukkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun