Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

ILC tentang Divestasi Freeport, Disimpulkan Langkah Jokowi Cukup Berani dan Tepat

18 Juli 2018   07:57 Diperbarui: 18 Juli 2018   08:02 3560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh karena munculnya berbagai tanggapan dan pendapat tentang penanda tanganan Head of Agreement ( HOA) proses divestas 51 persen saham PT Freeport Indonesia ,membuat saya yang tidak terlalu paham dengan istilah istilah tehnis perjanjian internasional menjadi sedikit bingung.

Karena kalau dibaca penjelasan pemerintah maka muncul dalam pikiran bahwa langkah pemerintah itu sudah benar.Tetapi kalau didengar tanggapan dari pihak terutama politisi yang tidak mendukung Jokowi maka bisa juga muncul di pikiran jangan jangan pandangan kelompok yang tidak pro pemerintah ini benar juga.

Untuk mendapatkan informasi yang lebih utuh dan menyeluruh itulah saya menulis artikel di blog kebanggaan kita ini dengan judul " Untuk Menepis Isu Miring, Pemerintah Perlu Lugas Jelaskan Divestasi Freeport".

Walaupun saya sebut sedikit bingung tetapi sudah bisa dilihat bahwa berbagai komentar yang muncul sebenarnya didasarkan pada kepentingan politik sehingga perbincangan yang muncul sungguh tidak sehat bahkan sering  juga diikuti kata kata yang selayaknya tidak diucapkan seorang tokoh atau seorang politisi. Menurut saya yang mengemuka adalah kepentingan politik dan bukan upaya untuk menunjukkan kebenaran.

Dilatar belakangi oleh  keinginan untuk lebih memahami kebijakan pemerintah tentang divestasi saham Freeport itu maka saya bergembira ketika Tv One ,Selasa ,17 Juli 2018 menayangkan acara Indonesia Lawyers Club ( ILC ) yang dipandu oleh Karni Ilyas ,Presiden ILC.

Uda Karni mengatakan thema acara tersebut ialah " Divestasi Freeport Menguntungkan atau Merugikan". Setelah melihat  para pembicara pada acara ILC itu saya langsung menduga ,perbincangan nanti nya pasti akan panas karena menurut saya yang terjadi nantinya bukanlah diskursus akademik tetapi debat politik .


Saya membagi para pembicara itu menjadi 3 kelompok yaitu; 

I.Kelompok yang pro pemerintah ialah ,1). Rendi Witular, Humas PT Inalum ,2). Ali Mochtar Ngabalin,3). Khurtubi ,pengamat perminyakan yang sekarang anggota DPR RI dari Nasdem,4). Adian Napitupulu ,anggota DPR RI dari PDIP dan 5), Prof Fahmi Radhy ,pengamat enerji UGM;

II.Kelompok yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yakni,1) .Fuad Bawazier ,mantan Menteri Keuangan, 2) Drajad Wibowo,Wakil Ketua Dewan Kehormatan PAN, 3. Fahri Hamzah ,Wakil Ketua DPR RI ( PKS) ,4). Ferdinand Hutahaean ,juru bicara Partai Demokrat, 5). Harry Azhar ,aktivis ,6). Rocky Gerung;

III. Kelompok netral yaitu ,1). Said Didu ,mantan ses Meneg BUMN ; 2) .Prof Rhenald Kasali.

Dari keseluruhan penjelasan kelompok pemerintah maka saya mendapat gambaran bahwa perjanjian divestasi 51 persen saham Freeport itu merupakan langkah yang tepat serta sekaligus juga mendapat jawaban terhadap beberapa poin kritik yang dikemukakan oleh kelompok yang tidak setuju dengan langkah pemerintah itu. Garis besar penjelasan kelompok peendukung kebijakan pemerintahan Jokowi adalah sebagai berikut.

Keadaan runyam berkaitan dengan keberadaan Freeport di Indonesia berawal dari perjanjian Kontrak  Karya(KK) yang ditanda tangani pada 30 Desember 1991. Ada yang tidak lajim berkaitan dengan perjanjian KK tersebut.KK itu ditanda tangani oleh Pemerintah RI dengan Freeport.

Sedangkan seharusnya penandatangan adalah Bisnis to Bisnis bukan Government to Bisnis. Karena  KK itu ditanda tangani oleh Pemerintah -Bisnis maka Pemerintah RI menjadi tersandera dengan tanda tangannya sendiri.

Fungsi pemerintah adalah untuk melihat apakah perjanjian Bisnis to Bisnis itu berjalan dengan baik atau tidak.Kalau terjadi penyimpangan terhadap isi perjanjian maka pemerintah punya kewenangan untuk memperbaikinya.Tetapi karena pada KK ,pemerintah lah yang menanda tangani maka pemerintah yang seharusnya menjadi pengawas menjadi tidak dapat menjalankan fungsinya.

Berkaitan dengan hal yang demikianlah maka perjanjian divestasi saham Freeport tanggal 12 Juli 2018 bukan lagi dilakukan oleh Pemerintah RI tetapi ditanda tangani oleh CEO Freeport McMoRan Inc ,Richard Adkerson dengan Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin.

Kemudian dalam perjalanan KK itu ,pernah ada satu kesempatan untuk Pemerintah RI untuk memperoleh saham Freeport 10 persen.Tetapi pemerintah menyia nyiakan kesempatan itu dan memberi hak nya untuk memperoleh saham itu kepada perusahaan swasta Indonesia.

Perusahaan swasta Indonesia itu kemudian membeli saham 10 persen itu tetapi anehnya saham yang sudah dibelinya itu dijualnya kembali kepada Freeport.Akibatnya komposisi saham Pemerintah RI kembali lagi pada angka 9,36 persen .Perlu juga diketahui dengan berpayung hukum KK itu ,Pemerintah hanya dapat royalti 1 persen.

Walaupun secara hukum Pemerintah RI berdasarkan saham dan royalti yang dimilikinya mendapat dividen tetapi dalam prakteknya dividen itu tidak pernah menjadi pos penerimaan pada APBN karena dividen tersebut dijadikan menjadi pertambahan modal di Freeport.

Menanggapi para pengkritik pemerintah yang menyebut mengapa pemerintah harus menanda tangani HOA Juli tahun ini dan tidak menunggu selesainya kontrak tahun 2021 maka kelompok pendukung kebijakan pemerintah menjelaskan hal berikut.

MOU Pemerintah Indonesia - Freeport yang ditanda tangani 25 Juli 2014,memberi kesempatan kepada Freeport untuk memperpanjang masa kontraknya 2x10 tahun terhitung tahun 2021.Hal tersebut berarti Freeport punya peluang untuk memperpanjang masa operasinya sampai tahun 2041.

Kemudian Pemerintah sesuai perjanjian yang ada tidak bisa secara sepihak membatalkan perjanjian yang ada.Semua keputusan harus disepakati oleh Pemerintah dan Freeport.

Andainya pemerintah memaksakan harus mengakhiri masa operasi Freeport tahun 2021 maka akan muncul beberapa permasalahan baru.
Pemerintah harus membayar peralatan yang dimiliki Freeport yang nilai bukunya US $ 6 Miliar.

Kemudian Freeport kemungkinan akan membawa masalahnya ke Badan Arbitrasi Internasional dan dalam proses yang demikian operasi penambangan Freeport akan terhenti untuk waktu yang lama .Apabila hal ini terjadi akan menimbulkan masalah sosial terutama di Papua khususnya di Timika. Menarik juga untuk menyimak tanggapan atau kritik kelompok yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah tentang hal ini.

Tetapi menurut saya tanggapan tersebut adalah alasan yang dicari cari dan sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan . Ada yang menyebut Jokowi jangan berpikir dan bertindak sebagai pedagang tetapi harus bertindak sebagai negarawan.Ada yang menyebut ,kita adalah negara yang besar karena nya tugas utama Presiden harus menegakkan isi pasal 33 UUD 1945.

Dalam hati saya berkata ,kalau untuk ngomong doang sangat mudah tetapi yang diomongkan itu sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan. Saya juga bertanya dalam hati ,selama ini apa yang dilakukan oleh para pengeritik itu.Misalnya pada ILC itu dinyatakan beberapa ketentuan pada UU Minerba juga menjadi pangkal masalah.

Kalau itu juga pangkal masalah mengapa para anggota Dewan tidak pernah mengajukan amandemen terhadap UU itu.Jadi yang muncul hanya kritik terhadap Jokowi tetapi saya juga tidak melihat apa yang dilakukan selama ini oleh si pengetitik itu.

Selanjutnya saya berpendapat argumentasi yang dilakukan oleh para pengeritik sering tidak mengenai substansi masalah tetapi lebih banyak dari sisi kepentingan politiknya.

Kemudian saya mendapat kesan bahwa pengeritik Jokowi menghawatirkan presiden petahana itu akan mendapat keuntungan politik dari perjanjian denganFreeport itu terlebih lebih pada tahun 2019 akan dilaksanakan pilpres.

Menurut saya wajar saya Jokowi mendapat keuntungan politik dengan hal tersebut karena ia telah berani melakukan sesuatu menghadapi perusahaan tambang raksasa dunia.

Setelah HOA itu ditindak lanjuti maka nantinya Indonesia akan memperoleh 51 persen saham PT Freeport Indonesia dan perlu dicatat perusahaan itu nantinya akan ditempatkan sebagai anak perusahaan PT Inalum .Seperti diketahui PT inilah yang menjadi holding perusahaan pertambangan plat merah.

Dari keseluruhan perbincangan pada ILC itu saya memperoleh kesimpulan bahwa yang dilakukan pemerintah Jokowi itu adalah sebuah langkah besar,cukup berani dan merupakan langkah yang tepat. Salam Demokrasi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun